Pimpin PETA Melawan Jepang, Supriyadi Tetiba Raib Saat Hendak Dilantik Sebagai Panglima ABRI Pertama

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Nasib Supriyadi sungguh misterius. Namanya berkibar karena memimpin pemberontakan PETA pada Februari 1945, tapi mendadak hilang setelah Indonesia merdeka.

Nasib Supriyadi sungguh misterius. Namanya berkibar karena memimpin pemberontakan PETA pada Februari 1945, tapi mendadak hilang setelah Indonesia merdeka.

Intisari-Online.com -Ada beberapa tokoh kemerdekaan Indonesia yang keberadaannya begitu misterius.

Salah satunya adalah Supriyadi yang dikenal sebagai pemimpin pemberontakan milisi PETA di Blitar pada 1945.

Supriyadi juga pernah ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pertama oleh Presiden Soekarno.

Tapi dia tidak pernah dilantik karena nasibnya yang misterius.

Supriyadi lahir pada tanggal 13 April 1923 di Trenggalek, Jawa Timur.

Dia merupakan anak sulung dari pasangan Raden Darmadi dan Rahayu, yang keduanya berasal dari kalangan bangsawan Jawa.

Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Kabupaten Blitar.

Ketika Supriyadi berusia dua tahun, ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan Susilih, yang melahirkan 11 adik laki-laki Supriyadi.

Supriyadi menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Blitar dan melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Malang.

Dia dikenal sebagai siswa yang cerdas, aktif, dan berbakat dalam bidang olahraga.

Supriyadi juga tertarik dengan gerakan nasionalisme dan sempat bergabung dengan Jong Java, sebuah organisasi pemuda yang berhaluan kiri.

Pada 1943, ketika Indonesia diduduki oleh Jepang, Supriyadi mendaftar sebagai anggota PETA (Pembela Tanah Air).

Ini adalah sebuah organisasi milisi yang dibentuk oleh Jepang untuk membantu pertahanan mereka.

Supriyadi ditempatkan di batalyon ke-2 PETA di Blitar dan mendapat pangkat Shodancho (setingkat kapten).

Dia menjadi salah satu perwira PETA yang paling disegani dan dicintai oleh para prajuritnya karena kepemimpinan dan keberaniannya.

Februari 1945,Supriyadi memimpin perlawanan PETA terhadap Jepang di Blitar.

Perlawanan ini dipicu oleh ketidakpuasan para prajurit PETA terhadap perlakuan Jepang yang sewenang-wenang, diskriminatif, dan mengeksploitasi sumber daya Indonesia.

Selain itu, para prajurit PETA juga terinspirasi oleh pidato Jenderal Koiso pada tanggal 7 September 1944 yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Perlawanan ini direncanakan secara rahasia oleh Supriyadi bersama beberapa perwira PETA lainnya, seperti Soeharto (bukan mantan presiden), Soetarjo Kartohadikusumo, Moestopo, dan Sudirman (yang kemudian menjadi Panglima TNI yang kedua).

Mereka berencana untuk membunuh para perwira Jepang saat menghadiri rapat di Hotel Sakura pada tanggal 14 Februari 1945.

Namun rencana ini bocor dan Jepang berhasil menghindari serangan tersebut.

Meskipun demikian, Supriyadi dan pasukannya tetap melancarkan serangan ke markas Kenpeitai (polisi militer Jepang) dan beberapa pos penting lainnya di Blitar.

Mereka berhasil menguasai sebagian besar kota Blitar selama beberapa jam dan menyatakan kemerdekaannya.

Serangan Supriyadi dan pasukannya tidak berlangsung lama.

Jepang segera mengirim bala bantuan dari Malang dan Kediri untuk menumpas pemberontakan Blitar.

Pertempuran sengit terjadi antara pasukan PETA dan Jepang di berbagai tempat di Blitar dan sekitarnya.

Banyak prajurit PETA yang gugur dalam pertempuran tersebut, termasuk beberapa perwira yang terlibat dalam perencanaan pemberontakan.

Supriyadi sendiri berhasil lolos dari kejaran Jepang dan bersembunyi di lereng Gunung Kelud bersama beberapa prajuritnya.

Namun ia tidak pernah terlihat lagi setelah itu.

Nasibnya menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga kini.

Ada beberapa versi tentang apa yang terjadi pada Supriyadi setelah pemberontakan Blitar:

Versi pertama mengatakan bahwa Supriyadi tewas dalam pertempuran melawan Jepang di lereng Gunung Kelud.

Jenazahnya tidak pernah ditemukan karena dimakamkan secara sembunyi-sembunyi oleh para prajuritnya.

Versi kedua mengatakan bahwa Supriyadi ditangkap oleh Jepang dan disiksa hingga mati di markas Kenpeitai di Malang.

Jenazahnya tidak pernah dikembalikan kepada keluarganya karena dibuang ke sungai atau dibakar oleh Jepang.

Versi ketiga mengatakan bahwa Supriyadi berhasil melarikan diri dari Jepang dan bersembunyi di berbagai tempat di Jawa Timur.

Dia sempat bertemu dengan beberapa tokoh nasionalis seperti Bung Tomo, Bung Karno, dan Bung Hatta.

Supriyadi juga sempat mengirim surat kepada Presiden Soekarno untuk menyatakan kesediaannya menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima TNI.

Namun ia tidak pernah muncul secara terbuka karena alasan keamanan atau idealisme.

Versi keempat mengatakan bahwa Supriyadi masih hidup hingga kini dan menyamar sebagai orang lain.

Beberapa orang mengklaim bahwa mereka adalah Supriyadi yang asli atau pernah bertemu dengan Supriyadi yang asli.

Namun klaim-klaim ini tidak pernah dibuktikan secara ilmiah atau diakui oleh keluarga dan rekan-rekan Supriyadi.

Meskipun nasibnya tidak jelas, Supriyadi tetap dihormati sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang.

Ia juga diakui sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima TNI yang pertama meskipun ia tidak pernah dilantik secara resmi.

Pada tanggal 9 Agustus 1975, Presiden Soeharto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Supriyadi secara anumerta.

Nama Supriyadi juga diabadikan sebagai nama jalan, sekolah, museum, monumen, dan tugu di berbagai kota di Indonesia, terutama di Blitar dan Trenggalek.

Supriyadi adalah sosok yang inspiratif dan legendaris dalam sejarah Indonesia.

Ia adalah contoh dari semangat juang, kepemimpinan, dan pengorbanan yang patut diteladani oleh generasi muda Indonesia.

Begitulah sepak terjang Supriyadi, pejuang kemerdekaan yang misterius, baik nasib dan keberadaannya.

Artikel Terkait