Penulis
Intisari-Online.com -Pangeran Diponegoro adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang terkenal dengan Perang Jawa melawan penjajah Belanda pada tahun 1825-1830.
Namun, di balik kisah heroiknya, ada juga kisah-kisah asmara yang menarik untuk diungkap.
Pasalnya, sang pangeran dikabarkan memiliki banyak perempuan cantik yang dekat dengannya, baik sebagai istri resmi, selir, maupun tawanan perang.
Bahkan, salah satu perempuan yang bukan istrinya itu konon menjadi penyebab kekalahan terbesar Pangeran Diponegoro dalam perang.
Siapa saja perempuan-perempuan yang terlibat dalam kisah asmara Pangeran Diponegoro? Berikut ulasannya.
Istri dan Selir Pangeran Diponegoro
Dalam buku “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855” karya Peter Carey, disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro memiliki empat orang istri resmi dan beberapa selir atau istri tidak resmi.
Istri pertamanya adalah Raden Ayu Rukmini (1788-1827), putri Sultan Hamengkubuwono III dan saudara sepupu Pangeran Diponegoro sendiri. Pernikahan mereka terjadi pada tahun 1803 dan menghasilkan enam anak.
Sementara Raden Ayu Siti Aisyah (1790-1827) yang menjadi istri keduanya merupakan putri Sultan Hamengkubuwono II dan juga saudara sepupu Pangeran Diponegoro. Mereka menikah pada tahun 1808 dan memiliki dua anak darinya.
Ada pula Raden Ayu Ratnaningsih (1795-1827) yang menjadi istri ketiganya, putri Sultan Hamengkubuwono I dan juga saudara sepupu Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1813, mereka menikah dan memiliki empat anak darinya.
Baca Juga: Kisah Tragis Pangeran Diponegoro yang Dikhianati oleh Kekasihnya Sendiri
Istri keempat Pangeran Diponegoro adalah Raden Ayu Maduretno (1800-1827), putri Bupati Pati dan juga saudara sepupu Pangeran Diponegoro. Tahun 1818 menjadi tahun pernikahan mereka dan memberi tiga anak darinya.
Selain istri resmi, Pangeran Diponegoro juga memiliki beberapa selir atau istri tidak resmi, seperti Raden Ayu Siti Fatimah (1800-1830), putri Bupati Demak; Raden Ayu Siti Zainab (1805-1830), putri Bupati Kudus; Raden Ayu Siti Khadijah (1810-1830), putri Bupati Jepara; dan Raden Ayu Siti Aminah (1815-1830), putri Bupati Grobogan.
Salah satu selirnya yang terakhir, Siti Aminah, dikabarkan cukup cantik jelita dan sempat memancing mata keranjang Asisten Residen Belanda untuk Yogyakarta, P.F.H. Chevallier, yang suka main perempuan.
Siti Aminah pernah hidup beberapa bulan bersama Chevallier sebelum Perang Jawa terjadi.
Perempuan yang Picu Kekalahan Perang
Selama masa perang, setelah kematian keempat istrinya pada tahun 1827 akibat wabah kolera, Pangeran Diponegoro mengawini tiga perempuan baru sekaligus di penghujung November 1827.
Salah satunya adalah Raden Ayu Retnoningsih (1810-1885), putri Bupati Keniten (Madiun), dan kemenakan perempuan Raden Ronggo Prawirodirjo III, yang di mata Pangeran Diponegoro adalah seorang pahlawan.
Saat dinikahi Pangeran Diponegoro, Retnoningsih masih berusia 17 tahun dan diakui sebagai istri yang sangat cantik oleh Knoerle, opsir yang mengawal sang pangeran di pengasingan.
Retnoningsih adalah satu-satunya istri resmi yang menemani Pangeran Diponegoro di pengasingan dan memberinya dua anak.
Namun, ada satu perempuan yang konon menjadi penyebab kekalahan terbesar Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda.
Perempuan itu adalah seorang gadis muda beretnis Tionghoa yang menjadi tawanan perang di Kedaren.
Baca Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Konon Tolak Bantuan Nyi Roro Kidul Untuk Menumpas Belanda, Karena Allah
Pangeran Diponegoro tertarik dengan kecantikan gadis itu dan menjadikannya sebagai tukang pijatnya.
Menurut Peter Carey, pada malam 14 Oktober 1826, sebelum pertempuran besar di Gowok, Pangeran Diponegoro tidur dengan gadis Tionghoa itu dan lupa mengatur strategi perang.
Akibatnya, ia kalah telak dalam pertempuran tersebut dan kehilangan banyak pasukan dan persenjataan.
Pangeran Diponegoro sendiri mengakui bahwa kekalahan itu disebabkan oleh godaan perempuan.
Kisah asmara Pangeran Diponegoro yang para wanita ini menunjukkan bahwa sang pahlawan juga memiliki sisi manusiawi yang tidak luput dari cinta dan nafsu.
Namun, hal itu tidak mengurangi kebesaran jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.