Ganjar Tolak Timnas Israel, Begini Sejarah Hubungan Negara Yahudi dan Indonesia

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, juga Gubernur Bali Wayan Koster, menolak kehadiran Israel pada Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, juga Gubernur Bali Wayan Koster, menolak kehadiran Israel pada Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Intisari-Online.com -Sejumlah tokoh menolak kedatangan tim nasional Israel dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia nanti.

Beberapa di antaranya adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hingga Gubernur Bali Wayan Koster.

Memang seperti apa hubungan negara Yahudi itu dengan Indonesia?

Hubungan Indonesia-Israel merupakan salah satu topik yang selalu menarik perhatian publik.

Kedua negara ini tidak memiliki hubungan diplomatik resmi, tetapi memiliki hubungan tidak resmi yang meliputi bidang dagang, pariwisata, dan keamanan.

Pada tahun 1948, Israel menyatakan kemerdekaannya sebagai negara Yahudi di Timur Tengah.

Indonesia yang merdeka tiga tahun sebelumnya tidak mengakui atau menjalin hubungan dengan Israel.

Alasan utama Indonesia adalah sikap solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina yang menjadi korban penjajahan dan pendudukan Israel.

Selain itu, Indonesia juga mengadopsi kebijakan pro-Arab sebagai bagian dari sikap antikolonialis dan antiimperialis.

Bung Karno tolak kontingen Israel

Presiden pertama Indonesia, Sukarno, bahkan menolak untuk berkomunikasi dengan pejabat-pejabat Israel yang mencoba mendekati pemerintah Indonesia.

Salah satu insiden besar yang melibatkan kedua negara ini adalah penolakan delegasi Israel dan Taiwan dalam ajang Asian Games 1962 di Jakarta.

Atas desakan negara-negara Arab dan Tiongkok Komunis, pemerintah Indonesia menolak menerbitkan visa untuk delegasi Israel dan Taiwan.

Meski demikian, hubungan militer dan intelijen antara Indonesia dan Israel dibuka lewat jalur tidak resmi pada tahun 1968.

Hal ini dilakukan karena adanya kepentingan bersama dalam menghadapi ancaman komunisme global.

Melalui Iran dan Turki sebagai perantara, pejabat militer Indonesia dan Israel merintis negosiasi transfer alutsista militer dan intelijen kelompok teroris komunis global.

Salah satu contoh kerjasama militer antara Indonesia dan Israel adalah pembelian lebih dari 30 pesawat tempur Douglas A-4 Skyhawk dari Israel pada awal 1980-an meski tidak mengakui atau memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Pesawat-pesawat ini dikirim melalui Singapura dengan cat ulang agar tidak diketahui asal-usulnya.

Selain itu, tentara Indonesia juga sempat berlatih di Israel dalam bidang radar artileri, pengintaian darat, penyusupan khusus, dan operasi rahasia.

Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, hubungan Indonesia-Israel tetap berlangsung secara diam-diam meski secara resmi tetap menentang keberadaan Israel.

Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin bahkan sempat bertemu dengan Soeharto di Jakarta dalam kunjungan rahasia yang diselenggarakan oleh Amerika Serikat sebagai mediator.

Pertemuan tersebut bertujuan untuk membahas kemungkinan normalisasi hubungan antara kedua negara serta isu perdamaian Timur Tengah.

Namun, upaya tersebut gagal karena tekanan dari publik dan organisasi Islam di Indonesia yang mengecam rencana pembukaan hubungan dengan Israel.

Gus Dur mencoba membuka dialog

Setelah Soeharto lengser pada tahun 1998 akibat reformasi politik di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi salah satu tokoh yang berani mengusulkan ide untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Gus Dur beralasan bahwa hal ini akan membantu proses perdamaian antara Palestina dan Israel serta memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.

Gus Dur bahkan sempat melakukan kunjungan ke Israel pada tahun 1994 sebagai ketua Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Ia juga berencana untuk membuka kantor dagang di Tel Aviv sebagai langkah awal menuju normalisasi hubungan.

Namun, upaya Gus Dur mendapat tentangan keras dari sebagian besar elemen politik dan masyarakat di dalam negeri.

Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Indonesia kembali menutup pintu hubungan dengan Israel karena situasi konflik di Timur Tengah yang memanas.

Megawati mengecam keras kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina dan mendesak dunia internasional untuk menghentikan agresi Israel.

Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Indonesia tetap menjaga jarak dengan Israel tetapi juga tidak menutup komunikasi secara penuh.

Pada tahun 2012, Indonesia sepakat untuk menaikkan status hubungannya dengan Israel dan membuka konsulat kehormatan di Ramallah yang dipimpin seorang diplomat sederajat duta besar.

Diplomat tersebut juga bertugas secara tidak resmi sebagai perwakilan Indonesia saat membina hubungan dengan Israel.

Bagaimana saat zaman Presiden Jokowi?

Pada masa Presiden Joko Widodo atau Jokowi (2014-sekarang), Indonesia masih belum memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel tetapi masih melakukan hubungan dagang secara tidak langsung melalui negara ketiga seperti Singapura atau Hong Kong.

Pada tahun 2020, terdapat kabar bahwa ada upaya dari Amerika Serikat untuk mendorong normalisasi hubungan antara beberapa negara Muslim termasuk Indonesia dengan Israel setelah Maroko, Sudan, Bahrain, dan Uni Emirat Arab melakukannya.

Namun, pemerintah Indonesia membantah kabar tersebut dan menyatakan bahwa posisi Indonesia tetap mendukung hak-hak rakyat Palestina.

Hubungan Indonesia-Israel memiliki dinamika yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi politik dan kepentingan nasional masing-masing.

Indonesia selalu berpegang pada prinsip antikolonialisme dan mendukung hak-hak rakyat Palestina untuk merdeka dari penjajahan Israel.

Namun, Indonesia juga tidak menutup mata terhadap peluang kerja sama dengan Israel di berbagai bidang, terutama ekonomi dan teknologi.

Indonesia pernah melakukan hubungan tidak resmi dengan Israel melalui jalur militer dan intelijen pada masa Orde Baru.

Indonesia juga pernah mencoba untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada masa Gus Dur, meskipun gagal terwujud karena tekanan politik dalam negeri.

Indonesia juga pernah sepakat untuk menaikkan status hubungannya dengan Israel dan membuka konsulat kehormatan di Ramallah pada masa SBY, meskipun belum terealisasi hingga kini.

Indonesia masih belum memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel hingga saat ini.

Namun, Indonesia masih melakukan hubungan dagang secara tidak langsung melalui negara ketiga seperti Singapura atau Hong Kong.

Indonesia juga masih menjaga komunikasi secara penuh dengan Israel melalui saluran-saluran informal seperti pertemuan-pertemuan multilateral atau kunjungan-kunjungan personal.

Indonesia mungkin dapat membidik peluang dari langkah beberapa negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel baru-baru ini.

Normalisasi hubungan ini dapat memberikan manfaat ekonomi dan politik bagi kedua belah pihak, sekaligus membuka ruang dialog untuk mencari solusi damai bagi konflik Israel-Palestina.

Namun, Indonesia tetap tidak boleh mengabaikan aspirasi rakyat Palestina yang selama ini menjadi prioritas kebijakan luar negerinya.

Artikel Terkait