Penulis
Intisari-online.com - Suku Baduy adalah suku asli Sunda yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Suku ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Baduy Dalam adalah kelompok yang masih memegang teguh adat dan tradisi leluhur mereka, sedangkan Baduy Luar adalah kelompok yang sudah terbuka dengan pengaruh budaya luar.
Salah satu tradisi unik yang dimiliki oleh suku Baduy adalah sahur pakai suling.
Tradisi ini dilakukan oleh para pemuda Baduy Dalam yang bertugas untuk membangunkan warga desa saat sahur di bulan Ramadhan.
Mereka berkeliling desa sambil meniup suling bambu yang menghasilkan nada-nada merdu dan syahdu.
Suling bambu yang digunakan oleh para pemuda Baduy Dalam tidak sembarangan. Suling ini dibuat dari bambu pilihan yang dipotong dan dibersihkan dengan cara khusus.
Selain itu, suling ini juga harus disucikan dengan cara direndam dalam air sungai selama tujuh hari tujuh malam.
Setelah itu, suling ini baru bisa digunakan untuk sahur pakai suling.
Tujuan dari tradisi sahur pakai suling ini adalah untuk mengajak warga desa untuk bangun dan bersiap-siap untuk menjalankan ibadah puasa.
Selain itu, tradisi ini juga bermakna sebagai ungkapan syukur dan rasa hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia-Nya.
Tradisi sahur pakai suling ini merupakan salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan oleh suku Baduy.
Tradisi ini menunjukkan kekayaan dan keunikan budaya suku Baduy yang masih menjaga nilai-nilai luhur leluhur mereka.
Tradisi ini juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat kehidupan suku Baduy.
Selain sahur pakai suling, suku Baduy juga memiliki tradisi lain yang berkaitan dengan bulan Ramadhan.
Salah satunya adalah tradisi ngabuburit atau menunggu waktu berbuka puasa.
Tradisi ini dilakukan oleh warga Baduy Dalam dan Baduy Luar dengan cara yang berbeda.
Warga Baduy Dalam biasanya ngabuburit dengan cara beristirahat di rumah atau di bale-bale (tempat duduk dari bambu).
Mereka tidak melakukan aktivitas berat atau menghabiskan waktu dengan hal-hal yang sia-sia.
Mereka juga tidak menggunakan alat-alat elektronik seperti televisi, radio, atau telepon seluler.
Mereka hanya mengandalkan alam sebagai penanda waktu berbuka puasa.
Sementara itu, warga Baduy Luar biasanya ngabuburit dengan cara berjalan-jalan keluar desa atau berkunjung ke rumah tetangga.
Mereka juga lebih terbuka dengan penggunaan alat-alat elektronik dan media sosial.
Mereka bisa mengetahui waktu berbuka puasa dengan melihat jam tangan, telepon seluler, atau mendengarkan adzan dari masjid terdekat.
Meskipun memiliki cara ngabuburit yang berbeda, warga Baduy Dalam dan Baduy Luar tetap menjaga kekompakan dan keharmonisan dalam menjalankan ibadah puasa.
Mereka saling menghormati dan menghargai pilihan masing-masing dalam mengikuti adat dan tradisi leluhur mereka.
Mereka juga saling membantu dan berbagi dalam menyediakan makanan dan minuman untuk berbuka puasa.
Tradisi ngabuburit ini merupakan salah satu bentuk kebersamaan dan kekeluargaan yang ada di suku Baduy.
Tradisi ini menunjukkan bahwa suku Baduy tidak hanya menjaga hubungan baik dengan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam sekitar.
Tradisi ini juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin merasakan suasana Ramadhan yang khas di suku Baduy.