Digandrungi Anak Muda Masa Kini, Ternyata Ini Sejarah Thifting di Indonesia, Berawal dari Bantuan Rakyat Miskin

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Pakaian bekas thrifting.

Intisari-online.com - Thrifting atau jual beli pakaian bekas, belakangan ini menjadi perbincangan publik.

Salah satunya adalah aturan tahun 2021, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan yang melarang impor pakaian bekas.

Larangan ini tertulis dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Thrifting sendiri adalah aktivitas belanja barang-barang bekas, terutama pakaian, dengan tujuan mendapatkan harga yang lebih murah dan hemat.

Thrifting juga bisa menjadi cara untuk mengekspresikan gaya dan identitas sosial yang berbeda dari arus utama.

Pada tahun 1920-an, thrifting mulai populer di kalangan kelas menengah karena dampak dari Depresi Besar yang menyebabkan penurunan daya beli.

Toko-toko barang bekas bermunculan sebagai tempat untuk mencari pakaian berkualitas dengan harga murah.

Pada tahun 1990-an, thrifting menjadi bagian dari budaya alternatif dan subkultur yang dipengaruhi oleh musik grunge dan punk rock.

Salah satu ikon dari gerakan ini adalah Kurt Cobain, vokalis band Nirvana, yang sering tampil dengan pakaian bekas yang robek-robek dan berlubang.

Pada tahun 2000-an hingga sekarang, thrifting mengalami gelombang baru yang didorong oleh faktor-faktor seperti kesadaran lingkungan, kreativitas fesyen, pengaruh media sosial dan belanja daring.

Thrifting juga menjadi simbol dari gerakan cinta alam dan anti-konsumtif.

Baca Juga: Sedang Disorot, Ini 10 Hal Yang Nggak Boleh Kamu Beli Di Gerai Thrifting Atau Awul-awul

Namun, thrifting juga menimbulkan beberapa masalah seperti limbah tekstil, persaingan dengan industri lokal dan peluang bagi importir nakal.

Budaya thrifting di Indonesia adalah kegiatan membeli barang-barang bekas, terutama pakaian, yang berasal dari impor maupun lokal.

Budaya ini digemari oleh banyak orang, khususnya anak muda, karena alasan-alasan seperti hemat biaya, gaya fesyen yang unik dan berbeda, kesadaran lingkungan dan anti-konsumtif.

Budaya thrifting di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan berkembang seiring dengan perubahan zaman dan tren global.

Berikut adalah beberapa tahapan perkembangan budaya thrifting di Indonesia:

Abad ke-19: Budaya thrifting muncul sebagai akibat dari revolusi industri yang memperkenalkan produksi massal pakaian.

Banyak pakaian baru yang terjangkau dan dianggap sebagai barang sekali pakai.

Barang-barang bekas ini kemudian dimanfaatkan oleh para imigran dan organisasi non-pemerintah seperti Bala Keselamatan untuk membantu orang-orang miskin.

Abad ke-20: Budaya thrifting berkembang di wilayah pesisir laut Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga seperti Sumatera, Batam, Kalimantan dan Sulawesi.

Wilayah-wilayah ini menjadi pintu masuk impor pakaian bekas dari negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Pakaian bekas impor ini menawarkan kualitas dan desain yang lebih baik daripada pakaian lokal.

Baca Juga: Selain Busana Basahan Seperti yang Dikenakan Kaesang dan Erina, Ketahui Inilah Berbagai Macam Pakaian Adat Jawa Tengah

Tahun 1990-an: Budaya thrifting menjadi bagian dari budaya alternatif dan subkultur yang dipengaruhi oleh musik grunge dan punk rock.

Salah satu ikon dari gerakan ini adalah Kurt Cobain, vokalis band Nirvana, yang sering tampil dengan pakaian bekas yang robek-robek dan berlubang.

Pada masa ini juga muncul toko-toko barang bekas atau thrift store yang menjual berbagai macam barang bekas selain pakaian.

Tahun 2000-an hingga sekarang: Budaya thrifting mengalami gelombang baru yang didorong oleh faktor-faktor seperti kesadaran lingkungan, kreativitas fesyen, pengaruh media sosial dan belanja daring.

Thrifting juga menjadi simbol dari gerakan cinta alam dan anti-konsumtif.

Namun, budaya thrifting juga menimbulkan beberapa masalah seperti limbah tekstil, persaingan dengan industri lokal dan peluang bagi importir nakal.

Artikel Terkait