Find Us On Social Media :

Pergundikan di Hindia: Hubungan yang Rapuh dengan Para Pengembara

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 20 Januari 2023 | 15:23 WIB

Keluarga campuran Indo-Belanda - Pergundikan di Zaman Kolonial

Intisari-Online.com - Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 7, gundik sudah menjadi semacam kebutuhan.

Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru. 

Namun baru pada pemerintahan J.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.

Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Bagi bangsa Belanda, menikahi perempuan-perempuan pribumi asli maupun yang berdarah campuran di Hindia Belanda adalah hal normal.

Masalah pergundikan atau pernyaian dalam masyarakat Hindia Belanda memang unik.

Bahkan bangsa kulit putih telah menjalani hidup bersama dengan perempuan-perempuan pribumi tidak hanya di Hindia Belanda saja.

Tetapi hampir di semua masyarakat kolonial, di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan. Hidup bersama seorang gundik atau nyai memberikan beberapa keuntungan.

Hal itu dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa karena pernyaian menjamin keadaan yang tidak mengikat.

Laki-laki Eropa ini menikmati keuntungannya tetapi tidak mau menanggung kerugiannya.

Baca Juga: Konspirasi Renyin: Pembalasan Dendam 16 Gundik yang 'Diperah Darahnya' oleh Kaisar

Namun yang perlu Anda tahu, hubungan kaum Eropa dengan wanita pribumi tidak dikukuhkan sebagai hubungan perkawinan.

Hal itulah yang menyebabkan hubungan mereka dapat diputuskan menurut kemauan di Tuan Eropa.

Fenomena pernyaian ini dipicu karena golongan Tuan Eropa yang menjadi asisten datang sebagai fortuin zoekers (pencari harta), maka sebagian besar dari mereka termasuk trekkers (pengembara) dan tidak blijvers (menetap).

Sifat sementara ini sangat mempengaruhi gaya hidup, terlebih dalam masalah etika dan moral, antara lain ikatan perkawinan yang tidak terlalu ketat.

Seorang wanita mempunyai lebih banyak kebebasan dalam pergaulan dengan pria, meskipun sudah menikah.

Hidup dalam pergundikan atau pernyaian memberikan dampak keteraturan terhadap perilaku hidup sang laki-laki Eropa.

Mempunyai seorang nyai akan menahan laki-laki Eropa dari minuman keras, menjauhkan dari para pelacur, dan menjaga pola pengeluaran.

Selain itu seorang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada tuan Eropa-nya.

Nyai dapat mengajarkan bahasa pribumi dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di Hindia Belanda.

Terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pergundikan atau pernyaian, yaitu perkebunan-perkebunan.

Berubahnya lahan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran terutama terjadi setelah tahun 1870.

Baca Juga: Termasuk 'Penentuan Nasib' Anne Boleyn, Ini 5 Momen Paling Mengejutkan dalam Sejarah

Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan.

Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.

Tenaga kerja ini kebanyakan berasal dari pribumi,khususnya Jawa.

Selain di Jawa, perkebunan juga banyak didirikan di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Timur.

Baca Juga: Gundik Sarina: Para Wanita Berkebaya Putih Lengan Pendek 'Jual Diri' pada Serdadu di Tangsi Militer

 (*)