Penulis
Intisari-Online.com - Apa itu politik identitas dan apa bahayanya?
Politik identitas merupakan salah satu istilah yang kini sering terdengar di Indonesia.
Terlebih ketika Indonesia tengah berada di sekitar penyelenggaraan pesta demokrasi atau Pemilu.
Sehingga, politik identitas kerap dikaitkan dengan aktivitas Pemilu.
Politik identitas dalam pemilu pun dianggap sebagai hal yang berbahaya.
Seperti disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam acara peresmian gedung MPN organisasi masyarakat (Ormas) Pemuda Pancasila, di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (1/10/2022) lalu.
Dalam kesempatan tersebut, Listyo Sigit menyinggung bahaya politik identitas menjelang pemilihan umum (Pemilu) serentak pada 2024 mendatang.
Menurut Listyo, politik identitas yang kerap digunakan sebagai strategi pemenangan oleh sejumlah partai politik, berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Dia pun mencontohkan Pemilu 2019 yang tak luput dari praktik politik identitas.
Perpecahan yang ditimbulkan dari praktik kala itu pun dianggapnya masih terasa hingga saat ini.
Namun, pengertian politik identitas sendiri bukan hanya mencakup konteks pemilu saja.
Mengutip uinjkt.ac.id, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof.Dr. M. Arskal Salim GP, mengungkapkan, kontroversi terkait politik identitas sebenarnya berawal dari perbedaan dalam memahami konsep dan menempatkan konteks.
Konteks tersebut mencakup konteks ruang, waktu, dan kondisi yang melatari.
Dijelaskan bahwa sebagai suatu konsep, politik identitas tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, sebab kontekslah yang bisa menjadi acuan pemaknaan dan pemahaman atas suatu konsep.
Dengan demikian, mengabaikan konteks dari konsep politik identitas sama saja dengan melahirkan pemahaman baru yang keliru dan sesat terhadap konsep tersebut.
Dijelaskan mengenai pengertian politik identitas dalam Ilmu Sosial Humaniora.
Dalam bidang ilmu sosial dan humaniora, politik identitas dimaknai sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik.
Ia menstimulasi bahkan menggerakkan aksi-aksi untuk meraih tujuan politik tertentu.
Politik identitas mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama sebagai mereknya.
Politik identitas biasanya dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem.
Dalam menyuarakan aspirasi kelompok pengusung politik identitas, distingsi seperti kesukuan, gender dan agama ditunjukkan secara eksplisit dan intensif.
Beberapa contoh politik identitas melalui gerakan sosial politik dapat ditemukan di dalam maupun luar negeri, antara lain:
Baca Juga: Bikin Indra Bekti Dilarikan ke Rumah Sakit, Ini Penyebab Pendarahan Otak
Preferensi objektif terhadap calon pemimpin yang memiliki kapasitas mumpuni kemudian menjadi terdistorsi oleh sentimen kesukuan atau keagamaan itu.
Di Indonesia, informasi yang menyangkut suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) adalah topik yang kerap menjadi latar belakang propaganda.
Opini dan kesadaran publik dimanfaatkan pelaku politik dalam kontestasi Pemilu atau Pilkada.
Narasi SARA yang digambarkan melalui tokoh-tokoh politik akan memengaruhi persepsi masyarakat.
Misalnya isu PKI yang dilekatkan kepada Jokowi sebagai identitas dirinya dengan landasan bahwa komunis sama dengan ateis di Indonesia.
Sementara itu, seseorang yang ateis kerap diartikan sebagai seseorang yang menentang agama.
Kemudian, Prabowo kerap dikaitkan dengan peristiwa menghilangnya aktivis 98 yang membangun citra dirinya sebagai pelanggar HAM.
Hal tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menurunkan elektabilitas dan memburukkan citra Jokowi dan Prabowo.
(*)