Penulis
Intisari-Online.com - PadaRabu (5/10/2022) kemarin, ada yang menarik saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri perayaan HUT ke-77 TNI di Istana Merdeka, Jakarta.
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin tampak menghampiri pimpinan TNI dan Polri.
Lalu, mengajak mereka bersalaman usai perayaan digelar.Namun, Presiden Jokowi terlihat tidak menyalami Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Padahal, mantan Wali Kota Solo itu menyalami semua yang ada di sekitarnya.
Terlepas dari itu, institusi Polri belakangan ini disorot setelah peristiwa pembunuhan Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.
Bahkan konsorsium 303, keamanan untuk situs judi online di Indonesia ternyata bukan sekedar rumor.
Ditambah lagi, baru-baru ini, kinerja Polri kembali jadi sorotan usai tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, dan disusul kasus narkoba yang menjeratIrjen Teddy Minahasa.
Seketika, wacana publik berspekulasi liar mengenai sikap tak acuh Jokowi.
Meski begitu dalam catatan sejarah Indonesia, ada kisah menarik 'serupa' antaraKapolri Hoegeng dengan Presiden Soeharto.
Hoegeng Iman Santoso alias Hoegeng menjabat sebagai Kapolri pada 1968-1971 dandisukai masyarakat karena kejujuran dan integritasnya selama masa jabatannya yang singkat.
Pada 1968, Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo.
Meski Hoegengbanyak berhubungan dengan para petinggi negeri, tak terkecuali Presiden Soeharto, hubungan mereka tidak harmonis.
Dalam artikel yang ditulis Rosihan Anwar, "In Memorian Hoegeng Imam Santoso" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menyebutkan, pada masa itu kasus penyelundupan merajalela.
Di antara yang terkenal adalah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It.
Pada 1971, Hoegeng mengumumkan keberhasilannya dalam membekuk penyelundupan mobil mewah melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Klimaks ketidakharmonisan Hoegeng dan Soeharto terjadi ketika polisi menyelidiki kasus penyelundupan mobil mewah tersebut dan Hoegeng mendapati Robby keluar dari ruang tamu rumah Soeharto ketika hendak melaporkan kasus tersebut.
Ia pun batal menemui Soeharto.
Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara dan ternyata, pengungkapan kasus itu mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri.
Soeharto beralasan, pemberhentian Hoegeng tersebut adalah untuk regenerasi.
Selepas itu, Hoegang sebenarnya ditawari menjadi duta besar oleh Soeharto, tetapi ia menolaknya.
"Saya menolak penugasan saya sebagai duta besar di luar negeri, karena saya merasa tidak capable untuk tugas itu," kata Hoegang, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 15 September 1971.
"Saya mau pikir keluarga saya dulu. Kedua anak saya masih sekolah dan kalau saya ke luar negeri, studi mereka bisa kacau," lanjut dia.
Namun Hoegeng bersedia diberi posisi apa pun asal di dalam negeri. Soeharto menyatakan tidak ada jabatan yang bisa diisi oleh Hoegeng.
Hoegeng memutuskan untuk keluar, tepatnya pada 2 Oktober 1971, dia resmi menanggalkan posisinya sebagai Kapolri.
(*)