Find Us On Social Media :

Pengacara Minta Lukas Enembe Diperiksa Pakai Hukum Adat, KPK, ICW, dan MAKI Langsung Murka

By Mentari DP, Rabu, 12 Oktober 2022 | 11:30 WIB

Pengacara minta Lukas Enembe diperiksa secara hukum adat.

Intisari-Online.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil Lukas Enembe, tersangka kasus dugaan korupsi, ke Jakarta.

Namun hingga kini, Lukas Enembe tak kunjung datang ke Jakarta untuk memenuhi panggilan KPK.

Ada beberapa alasan mengapa Gubernur Papua itu tidak datang.

Pertama, Lukas Enembe sempat dilaporkan sakit, namun rumahnya malah dijaga massa.

Lalu pengacaranya meminta KPK mengizinkan Lukas Enembe ke luar negeri. Namun ditolak.

Kini, pengacaranya malah meminta Lukas Enembe diperiksa secara adat Papua atau menggunakan hukum adat.

Alasannya karena Lukas Enembe telah ditetapkan sebagai kepala suku besar oleh dewan adat Papua yang terdiri dari 7 suku pada 8 Oktober 2022 lalu.

Kata Aloysius Renwarin, salah satu kuasa hukum Enembe, permintaan tersebut diajukan oleh masyarakat adat Papua.

“Berarti semua urusan akan dialihkan kepada adat yang mengambil sesuai hukum adat yang berlaku di tanah Papua,” terang Aloysius Renwarin.

Akan tetapi permintaan Aloysius Renwarin mendapat kritik tajam dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana malah merasa pengacara Lukas Enembe harus membeli buku hukum pidana.

Alasannya agar dia lebih memahami alur penanganan suatu perkara pidana.

Kurnia menjelaskan bahwa dalam Pasal 109 ayat (2) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan hanya bisa dihentikan karena situasi tertentu.

Situasi tertentu yang dimaksud salah satunya adalah tidak cukup bukti.

Atau dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di mana penyelidikan bisa diberhentikan jika kasus tidak selesai dalam dua tahun.

Dari KUHAP dan UU KPK itu tidak menyatakan suatu kasus pidana bisa dihentikan karena berkaitan dengan adat. 

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri juga menjelaskan hal serupa.

Katanya hukum adat memang diakui dalam kasus kejahatan. Namun dalam kasus kejahatan seperti korupsi, hukum yang digunakan adalah hukum secara nasional.

"Hukum adat bisa memberikan sanksi moral atau adat kepada pelaku tindak kejahatan," terang Ali.

"Namun hal tersebut tentu tidak berpengaruh pada proses penegakan hukum positif sesuai UU yang berlaku."

Sependapat dengan Kurnia dan Ali, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkapkan bahwa dugaan korupsi yang menjerat Enembe itu tidak bisa diserahkan dalam hukum adat.

Ini karena dalam KUHP, korupsi merupakan kasus yang diatur secara khusus.

Jadi, semua itu tidak terikat apakah dia seorang Kepala Suku Besar atau tidak. Sebab kasus yang menjerat Enembe adalah perkara umum KUHP.

Apalagi KPK punya standar operasional prosedur (SOP) sendiri yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.

Baca Juga: Lukas Enembe Jadi Tersangka Kasus Dugaan Korupsi, Mantan Panglima OPM Tuntut Pemerintah Lakukan Hal Ini