Find Us On Social Media :

Cegah Banjir Jakarta, Jadikan Sungai Halaman Depan (2)

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 11 Februari 2015 | 10:00 WIB

Cegah Banjir Jakarta, Jadikan Sungai Halaman Depan (2)

Periode 1945 - 1950-an, negara lebih sibuk mempertahankan kemerdekaan. Akibatnya, periode 1950 - 1965 Jakarta saban tahun kebanjiran. Atas dasar itu pemerintah membentuk tim penanggulangan banjir pada 1965 yang dinamakan Tim Komando Pencegahan Proyek Banjir (Kopro Banjir). Pada 1970, Kopro Banjir diubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya atau Proyek Pengendalian Banjir Jaya.

Berdasarkan rencana induk 1965 - 1985, Kopro Banjir berhasil memulai pembangunan waduk-waduk di dalam kota, yang selesai di masa Orde Baru. Setelah 1970-an, Proyek Pencegahan Banjir Jaya  mengadakan kerja sama dengan Nedeco (sebuah tim asistensi Indonesia - Belanda). Kedua pihak merekomendasi perlunya penelitian tentang karakteristik keadaan tata air Jakarta dan kemungkinan pembuatan saluran di luar banjir kanal dari Karet ke Kali Angke.

Toh proyek-proyek penanggulangan banjir sudah dibangun, banjir masih saja mampir. Pada 1990 - 2000 siklus banjir tidak semakin renggang. Setiap tahun daerah yang dilanda banjir makin luas, termasuk daerah selatan yang sebelum 1977 bebas banjir. Jika dulu meluapnya Ciliwung paling dikhawatirkan, kini semua kali menyumbang banjir, mulai Kali Krukut, Grogol, Sekretaris, dan lainnya.

Tengoklah, mungkin ada yang salah dengan pengelolaan tata air di Jakarta. Kita selalu disibukkan dengan pembangunan kanal, tapi hampir di setiap kanal terjadi sedimentasi akibat erosi dan buangan sampah. Selain itu banyak pintu air yang tidak berfungsi maksimal. Untuk itu pembangunan manusia menjadi penting, terutama mengubah pola pikir warga yang semula menganggap sungai sebagai latar belakang, menjadi sungai sebagai halaman depan [water front).

Sebagai latar belakang, sungai diperlakukan sebagai tempat buang sampah, kotoran, sehingga airnya kotor dan terjadi sedimentasi. Pembangunan di bantaran sungai juga terus dilakukan, sehingga mengganggu aliran. Dengan menempatkan sungai sebagai water front, perlakuan terhadap sungai diharapkan berubah.

Dulu sebelum Gunung Salak meletus dan sedimentasinya belum banyak, sungai telah digunakan sebagai jalur pelayaran dengan air yang jernih.

Mungkinkah kali-kali di Jakarta direvitalisasi agar kehidupan di kota ini menjadi lebih beradab? Jangan tunggu Jakarta tenggelam dan peradabannya hancur, seperti yang terjadi pada 1770-an, saat Batavia jadi sarang pelbagai wabah penyakit.

--

Tulisan ini ditulis oleh Restu Gunawan dan pernah dimuat di Intisari edisi Februari 2008.