Find Us On Social Media :

Cegah Banjir Jakarta, Jadikan Sungai Halaman Depan (2)

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 11 Februari 2015 | 10:00 WIB

Cegah Banjir Jakarta, Jadikan Sungai Halaman Depan (2)

Intisari-Online.com – Upaya menangkal banjir di ibukota sudah terekam sejak zaman Kerajaan Tarumanegara di abad ke-12. Tapi mengapa sampai sekarang, banjir masih saja menenggelamkan Jakarta? Kuncinya, jangan   tempatkan sungai sebagai halaman belakang. Untuk mencegah banjir Jakarta, jadikan sungai sebagai halaman depan.

--

Setelah itu, Batavia secara berturut-turut dilanda banjir. Pada 19 Februari 1909, menurut koresponden De Locomotief, hujan sangat deras sehingga kanal-kanal tidak mampu menampung air. Sebagai kritik terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam menangani banjir, De Locomotief menurunkan berita "Batavia Onder Water", disingkat menjadi BOW (Burgelijke Openbare Werken), sebuah kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk di dalamnya menangani banjir.

Setelah banjir, kampung-kampung bumiputera dalam waktu singkat akan kosong. Itu bisa berlangsung berhari-hari. Tapi di perkampungan warga Eropa sebaliknya. Mereka masih bisa menikmati pesta kecil. Dari atas trem listrik yang melewati permukiman, mereka bisa melihat rumah-rumah yang hanyut dan orang-orang berlarian menyelamatkan diri.

Alih fungsi lahan

Setelah kotapraja Batavia terbentuk pada 1905, masalah banjir masih menghantui, sehingga pada 1911 dimulailah penelitian secara menyeluruh terhadap sungai di Batavia, menyangkut sedimentasi dan pengaliran sungai, mulai dari Kali Angke, Pasanggrahan, Ciliwung, Krukut, Cisadane, dan Grogol.

Pemerintah menunjuk Herman van Breen, insinyur lulusan Technische Hooge School (sekarang ITB), untuk merencanakan tata air di Batavia yang lebih baik. Perencanaan tata air ini selain karena pembangunan kawasan Menteng, juga karena hampir selama dua abad, proses penggundulan di daerah Puncak terus berlangsung, akibat alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan ten, sehingga menimbulkan ancaman banjir di Batavia. Hasil kerja van Breen itu berupa sebuah kanal penangkal banjir yang berada di luar kota.

Berdasarkan surat keputusan pemerintah kolonial tahun 1913, pembangunan pintu air Matraman (Manggarai) dimulai (1913 - 1919). Selain itu juga dibangun pintu air di Kampung Gusti dan Sunter. Pembangunan kanal yang fenomenal adalah kanal banjir dan Matraman sampai Karet. Kanal banjir Matraman dimulai dari Ciliwung sampai Karet. Dari Karet diteruskan ke kanal Krokot yang sudah ada. Kanal banjir dari Ciliwung, Krokot, dan Cideng yang mengalir di antara kedua sungai ini dialihkan ke luar kota menuju laut lewat kanal Krukut.

Untuk memperlancar aliran, dilakukan penggalian saluran Cideng dan saluran pembuangan Tanah Abang. Yang masih menjadi perhatian van Breen yaitu daerah polder di sekitar Teluk Gong, Pluit, ke arah utara sampai laut. Itu daerah yang dapat digunakan sebagai tempat parkir sementara {retention basin). Artinya, jika terjadi banjir, air akan masuk wilayah itu karena merupakan daerah rendah, dan dari situ air dipompa keluar secara mekanis.

Menurut peta hasil kerja van Breen selama hampir lima tahun, walaupun kanal banjir berhasil dibangun dan penataan air secara menyeluruh sudah dilakukan, Batavia tetap mengalami banjir secara periodik, di antaranya pada 1918 dan 1923. Bahkan pada periode 1930 - 1933, tiap tahun Batavia kebanjiran.

Siklus makin pendek

Setelah kemerdekaan, arus urbanisasi ke Jakarta kian meningkat. Penduduk Jakarta yang pada 1947 berjumlah 599.821 jiwa naik hampir 50% pada 1950. Peningkatan jumlah penduduk ini tentu membutuhkan lahan untuk permukiman. Nah, meningkatnya lahan yang tertutup pembangunan ini jelas  mengurangi daya serap air hujan yang jatuh di kawasan permukiman.