Penulis
Intisari-online.com - Belakangan ini kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat kembali memanas.
Setelah diumumkannya hasil otopsi kedua Brigadir J, Komisi Nasional Hal Asasi Manusia (Komnas HAM) juga ikut bersuara.
Sejumlah fakta baru juga diungkapkan oleh Komnas HAM, terkait pembunuhan Brigadir J.
Menurut Komnas HAM, sehari sebelum pembunuhan terjadi Brigadir J telah mendapatkan ancaman pembunuhan.
Tepatnya pada 7 Juli 2022, Brigadir J mendapatkan ancaman pembunuhan yang disampaikan ke kekasihnya Vera.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, Brigadir J mendapatkan ancaman pembunuhan dari Kuat Ma'ruf.
Hal ini setelah kasusnya diselidiki mendalam, berdasarkan keterangan kekasih Brigadir J, Vera.
"Tanggal 7 Juli malam, memang ada ancaman pembunuhan, kurang lebih kalimatnya, Yosua dilarang naik ke atas menemui ibu P, karena membuat ibu sakit," ungkap Anam, Senin (22/8).
Setelah dilakukan penyelidikan, rupanya ancaman tersebut datang dari Kuat Ma'ruf sopir Ferdy Sambo.
Sebelumnya, diungkapkan bahwa Vera mengatakan Skuad yang melakukan ancaman pembunuhan.
Namun, setelah diselidiki bukan skuad, melainkan Kuat Ma'ruf.
"Skuad yang dimaskud itu Kuat Ma'ruf, ternyata si Kuat bukan skuad penjaga," katanya.
Dari keterangan tersebut ancaman tersebut muncul setelah Brigadir J disebut membuat istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi sakit.
Menurut Choirul Anam menyimpulkan bahwa Brigadir J diancam dibunuh, karena membuat istri Ferdy Sambo sakit.
Kesimpulan ini diperoleh, berdasarkan keterangan mengenai bunyi ancaman yang mengarah ke Brigadir J.
"Kalau naik ke atas akan dibunuh, ini dikomikasikan pada tanggal 7 Juli malam," katanya.
Komnas HAM juga melakukan pengecekan terhadap rekam jejak digital Vera pada Brigadir J.
Dari hasil rekam jejak tersebut, dari Januari sampai Juni, semua memang urusan lain, berbeda dengan ancaman pembunuhan, yang urusannya pribadi.
"Kalau ini memang sangat jelas ada ancaman pembunuhan," ungkap Choirul.
Lebih lanjut, Komnas HAM menggunakan hasil pengecekan rekam jejak digital berbasis pemantauan.
"Jadi satu, soal penyiksaan. Dua, ancaman pembunuhan" ujarnya.
Komnas HAM juga meminta dokter forensik membantu membaca soal temuan awal dari kasus tewasnya Brigadir J.
"Berikutnya, kita panggil Dokkes untuk melihat semuanya. Manggil Dokkes ini yang melakukan autopsi ini, kami tidak melihat hasil autopsinya, mau ditunjukkin kami ndak mau," kata Choirul.
"Kami minta ditunjukkan semua prosesnya, termasuk juga kondisi jenazah sebelum diautopsi dan setelah diautopsi. Jadi kami cek semua bagaimana kondisi tubuhnya, di mana lukanya, dan sebagainya. Itu yang kami lakukan untuk dugaan penyiksaan," jelasnya.
Menurutnya, lembaganya hampir menyimpulkan adanya penyiksaan sebelum pembunuhan Brigadir J, kemudian ada permintaan dari keluarga untuk autopsi ulang.