Find Us On Social Media :

Praktik Pergundikan Era Kolonial yang 'Membunuh' Para Serdadu Militer Menggambarkan Nyai Sebagai Sosok Tak Beradab hingga Gunakan Guna-guna untuk Balas Dendam ke 'Majikannya'

By Muflika Nur Fuaddah, Kamis, 11 Agustus 2022 | 16:47 WIB

(Ilustrasi) Serdadu militer Hindia Belanda dan gundik pribumi.

Intisari-Online.com - Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan kepada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ”gundik” atau ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.

Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan concubine, bijwijf, atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara. 

Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian. 

Maya Sutedja-Liem dalam tulisannya berjudul Menghapus Citra Buruk Njai dalam Karya-Karya Fiksi Berbahasa Melayu (1896-1927), publikasi 2008, menceritakan kisah-kisah para nyai dalam bingkai kolonial Belanda.

Ia juga menyinggung tentang karya-karya sastra Belanda yang kerap mendiskriminasi figur nyai.

"Umumnya dalam sastra kolonial Hindia-Belanda (tentang) nyai, yang ditampilkan berulang-ulang."

"Sering digambarkan sebagai wanita yang tidak setia, yang mengincar harta sang pria, dan yang suka balas dendam terhadap 'majikannya' dengan menggunakan guna-guna, sehingga terbentuk sebuah gambaran stereotipe yang negatif dari nyai" tulisnya.

Pada tahun 1990, Henk M.J Maier menerbitkan tulisannya berjudul Some Genealogical Remarks On The Emergence of Modern Malay Literature, menjelaskan citra negatif yang dilahirkan dari perspektif kompeni, yang kemudian ditafsirkan negatif oleh masyarakat luas.

"Dalam novel-novel karya sastra kolonial, nyai dipergunakan sebagai lambang degenerasi, lambang peruntuhan masyarakat kolonial" tulisnya.

Nyai dianggap tidak beradab dan kerap kali mengalami diskriminasi rasial, dengan anggapan keturunan dari hasil hubungan dengan nyai menghasilkan degenerasi, atau runtuhnya keturunan bangsa Eropa yang luhur.

Pada era VOC berkuasa sejak tahun 1652, hanya para petinggi, pejabat, dan saudagar VOC penting yang diperbolehkan membawa istri ke Hindia-Belanda.