Find Us On Social Media :

Bahasa Kerja Dahlan Iskan

By intisari-online, Sabtu, 4 Maret 2017 | 20:40 WIB

Bahasa Kerja Dahlan Iskan

Intisari-Online.com - Sosok yang berdiri di depan forum itu ramping, cukup kecil, berkemeja putih dengan lengan digulung sampai di bawah siku. Warna kulitnya sawo matang. Terhadap hadirin, ia sering mengambil sikap ngapurancang (melipat kedua tangan di depan perut). Malah berulang ia membungkukkan badan sembari minta maaf.

Bukan berarti lalu ia berbicara serba ragu-ragu. Bahasanya lugas, sering kali disertai data angka atau jadwal. Berulang kali ia mengungkapkan, “Sudah saya putuskan ….”

Dahlan Iskan adalah seorang pekerja; paling tidak kesan itu tercermin dalam acara “Bincang-bincang dengan Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN “, 28 April 2012, di kantor Kementerian BUMN, Merdeka Selatan Jakarta. Yang menjadi tamunya adalah puluhan warga senior yang tergabung dalam Komunitas Warga Senior (KOWAS), sebuah komunitas yang dikoordinir Kalbe Farma.

Hadir antara lain, Prof. Dr. J.B. Sumarlin, menteri keuangan di era Soeharto, Dr. Boenjamin Setiawan pendiri Kalbe Farma, yang komplain tentang kecilnya anggaran negara untuk penelitian, dan Ir. Ciputra, “raja properti” yang sedang getol-getolnya mengampanyekan enterpreneurship.

Baru saja tiba dari Batam pagi itu, ia membuka perbincangan dengan mengatakan, “Sebenarnya, saya agak khawatir kalau terlalu serius di BUMN. Kalau BUMN terlalu kuat nanti kita bisa seperti  … (ia menyebutkan salah satu negara tetangga). Tujuan bernegara, bukankah untuk menyejahterakan rakyat? Jadi rakyatlah yang harus berbisnis, bukan pemerintah.” Lalu meluncurlah pernyataan tegas itu: “BUMN pada akhirnya harus menjadi perusahaan publik. (Perusahaan) yang dikontrol rakyat.”

Ia yakin, ke 141 buah perusahaan negara itu tidak semua layak diteruskan keberadaannya. Ada tiga syarat saat sebuah BUMN layak dipertahankan. Satu, perusahaan itu penting bagi upaya pertahanan negara. Dua, industri itu dapat dijadikan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Tiga, industri itu dipersiapkan untuk menjadi jagoan di Asia Tenggara.

Industri persenjataan jelaslah termasuk industri yang penting bagi pertahanan negara. Begitupun sektor pangan. Malah, menurut Dahlan, tahun 2012 ini adalah titik awal kebangkitan industri pangan.

Revolusi di sawah

“Kata kunci industri pangan tahun ini adalah beras dan sapi,” ujarnya.

Impor 2,7 juta ton beras tahun lalu, dipandangnya terlampau besar. Bahkan sudah sering media mengutipnya mengatakan “merasa malu, bahwa Indonesia adalah pengimpor beras”. Untuk mengatasi kekurangan beras itu kementerian yang dipimpinnya meluncurkan tiga program. Program pertama, mengupayakan agar rakyat lebih produktif dalam dapat memproduksi beras dengan pemberian pinjaman benih dan pupuk.

Ia pun bercerita tentang kondisi riil petani di desa. “Sekarang banyak petani mempunyai anak (yang berpenghasilan) di kota. Anak-anak itu sanggup mengirimkan uang kepada orangtuanya, sehingga si orangtua tidak terlalu peduli berapa ton beras dihasilkan dari lahannya. Kalau dari satu hektare hanya empat ton, ya tidak apa-apa, karena ia akan tetap dapat membeli beras dengan uang kiriman anaknya. Tetapi, negara ‘kan rugi, karena lahan itu kurang produktif. Maka negara akan membantu mengelola lahan-lahan yang masih kurang produktif ini."

Menyoal produksi beras ini, Dahlan tidak main-main. "Saya mengharapkan suatu revolusi yang mendasar untuk mengatasi ketersediaan pangan, khususnya beras," kata Dahlan Iskan.

Ya, yang diinginkannya tak kurang dari revolusi. Itu diungkapkannya dalam pencanangan gerakan Pro-Beras BUMN di Dusun Seworan, Kelurahan Triharjo, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, DIY, Maret lalu. Kementerian BUMN melalui PT Sang Hyang Seri (persero) memberikan bantuan sewa tanah, biaya pengolahan, dan pemberian pupuk serta benih padi.

"Kalau dalam panen ternyata hasilnya lebih, boleh diambil petani karena PT Sang Hyang Seri hanya menargetkan per hektare 5,5 ton. Selebihnya, kalau terjadi surplus produksi menjadi hak petani," kata Dahlan Iskan, seperti diberitakan oleh Antara.

Program ketiga, untuk mengganti lahan-lahan pertanian yang dipakai untuk permukiman, akan dibuka seratus ribu hektare sawah tahun ini di Kalimantan Timur. Ini merupakan bagian dari program kementeriannya untuk mencetak satu juta hektare sawah pada 2014.

Yang termasuk industri yang dapat menjadi penggerak ekonomi tentu pelabuhan-pelabuhan di seluruh Tanah Air. Gerakan besar akan segera terlihat pada bulan Juli 2012, saat Tanjung Priok akan mulai dibangun secara besar-besaran sehingga setara dengan pelabuhan Singapura. Begitupun di tempat-tempat lain, akan ada perbaikan secara berarti pada kemampuan layanan pelabuhan.

Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan lain di bawah pengelolaan negara? “Kalau tidak masuk dalam ketiga kategori di atas, lebih baik ditutup saja,” katanya. Kelihatannya ia tidak jadi kecil hati atau frustrasi menghadapi berbagai persoalan pelik yang berjajar dari Sabang sampai Merauke. “Saya menggunakan pendekatan korporasi, bukan institusi,” katanya mengaku. Untuk membuat pendekatan itu efektif, tentu ia harus pandai-pandai menggandeng menteri-menteri departemen lain.

Menyertai pembenahan di sektor pengadaan beras, pengadaan sapi pun menjadi prioritasnya. Tahun ini Sumatra ditargetkan untuk memelihara seratus ribu ekor sapi. Kandang mereka akan didirikan berdekatan dengan kebun sawit, karena keduanya dapat hidup bersimbiosis. Pelepah sawit dapat dijadikan sumber pakan sapi, sementara kotoran dan urine sapi yang dikumpulkan pada jerami, setelah tiga bulan dapat di”unduh” sebagai pupuk bagi perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, masalah pakan yang mahal bagi sapi akan terpecahkan. Tahun depan BUMN diperkirakan akan membutuhkan 300 ribu anak sapi.

Menjadi presiden?

Ditanya tentang kesediaannya untuk dicalonkan jadi presiden, begini jawabnya, “Untuk jabatan setinggi presiden, saya meyakini ada campur tangan Tuhan. (Karena itu) menjadi presiden itu tidak dapat di-‘ingin-ingin’-kan, atau dicita-citakan. Banyak orang yang ingin jadi presiden dan sampai sekarang belum menjadi presiden.” Kemudian ia malah bicara soal angka dan negara.

“Di bawah pimpinan presiden mana pun, Indonesia pasti maju,” begitu jawabnya. Begini logika sederhananya. Sepuluh tahun lalu PDB Indonesia sekitar US$ 770. Sekarang sekitar US$ 3,500. Meskipun secara mikro volume perdagangan Indonesia hanya nomor 4 di Asia Tenggara, tetapi dari segi ukuran perekonomian, 51% volume ekonomi Asia Tenggara ada di Indonesia. Dahlan memprakirakan, akhir tahun 2012, ukuran perekonomian Indonesia akan melampaui Singapura. Dengan sistem demokrasi seperti yang berlaku sekarang, peluang untuk melakukan bisnis terbuka bagi semua. Siapa yang rajin merebut peluang akan menang. “Betapa pun melelahkan, sistem demokrasi ini pasti akan membuat perekonomian kita maju.”

Perbincangan tak terasa berjalan satu setengah jam. Pas tengah hari ia mohon diri. “Digiring” para ajudannya, ia harus mengejar kereta api ekonomi menuju Indramayu. Acaranya memanen rumput laut di Kecamatan Cantigi, berdialog dengan nelayan dan bersama istrinya, Nafsiah Dahlan, bermalam di rumah nelayan.

Kepada hadirin ia sempat berbagi, “Nelayan adalah penduduk Indonesia yang paling miskin. Rumput laut selalu diekspor dalam kondisi seadanya tanpa diolah. Saya akan tantang mereka, kalau bisa mencapai target tertentu, saya akan bangunkan sebuah pabrik rumput laut. Tapi sungguh mati, sampai sekarang saya tidak tahu apa-apa tentang teknologi membangun pabrik itu.”

Kemudian menghadap ke arah Dr. Boen ia membungkuk, “Kalau Dr. Boen dapat membantu memberi tahu tentang teknologi itu, saya akan menyembah.” Tentu saja “permohonan”-nya itu disambut dengan gelak tawa dari bos Kalbe dan seluruh hadirin.

Belakangan detik.com melaporkan betapa Dahlan menjadi seleb dadakan di sepanjang perjalanan ke Indramayu. Begitu banyak yang minta berfoto bersama.

Ungkapan syukur

Seorang menteri yang berpikir seperti pengusaha dan direspons oleh masyarakat sebagai selebriti. Dari mana energinya? Semua orang tahu bahwa Dahlan Iskan hidup dengan hati cangkokan. Untuk itu ia harus amat disiplin minum obat dan menjaga kondisi kesehatannya. Tetapi yang tampak bukan seseorang yang sakit, malah sebaliknya: manusia energetik yang mendekati gila kerja. Dari mana energinya?

“Sampai memasuki kamar operasi, saya tidak dapat menemukan cara apa yang akan saya lakukan bila saya selamat. Akhirnya, saya pasrah kepada Tuhan. Hidup atau mati, terserah (kepada-Nya). Setelah tiga belas jam dibius, baru saya siuman dan mendapati saya hidup. Ketika itulah saya temukan cara untuk bersyukur,” kisahnya. Ungkapan syukur itu ternyata bukan upacara syukuran potong sapi atau kambing, tetapi tekad untuk bekerja keras.

Banyak lagi program yang diceritakannya pagi itu. “Prosesnya harus dilalui, dan Bapak mesti sabar,” jawabnya kepada salah seorang penanya yang tidak sabar pada lambatnya kemajuan Indonesia. Barangkali ia memang kuat, sehingga sabar dan optimis. Yang jelas, tidak banyak manusia pernah mengalami nyaris mati dan ternyata hidup. Siapa tahu, di sana perbedaannya?