Find Us On Social Media :

Bidan Siti Melawan Kehamilan Dini

By Rusman Nurjaman, Selasa, 9 Juli 2013 | 14:00 WIB

Bidan Siti Melawan Kehamilan Dini

Lebih jauh, Siti melihat ada bahaya laten kekurangan gizi pada ibu hamil di desanya. Secara umum, kasus malnutrisi memang masih menjadi momok di Indonesia. Namun berdasarkan data Kementerian Kesehatan terdapat penurunan dalam jumlah kasus balita yang tergolong gizi kurang dan gizi buruk. Selain itu, penanganan kehamilan juga sering kali tidak tepat lantaran sebagian masyarakat masih percaya pada dukun. Kondisi tersebut semakin parah untuk kasus kehamilan remaja yang sering kali tidak menjadi perhatian pada usia kehamilan awal. Karena itu wajarlah jika angka kematian ibu masih tergolong tinggi meski ada kecenderungan menurun.

Mari tengok data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Angka Kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup di tahun 1991 mencapai 390 orang. Di tahun 2007 jumlahnya menurun menjadi 228. Namun, untuk mencapai target MDGs 2015, yaitu 102 orang, bukanlah hal yang mudah. Sebab, Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi geografis, sosial, ekonomi, dan kultur sangat beragam dan menantang. Inilah kenyataan yang harus dihadapi bidan desa seperti Siti Kholifah di pedalaman Pacitan.

Rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak juga turut berkontribusi. Terlebih pada masa persalinan dan sesudahnya. Ditambah lagi perilaku atau kebiasaan ibu hamil, keluarga, dan masyarakatnya. Dampaknya seringkali bersifat negatif bagi perkembangan kehamilan, persalinan, dan perkembangan dini anak. Karena itulah Siti kemudian berinisiatif membuka program kelas ibu hamil. Ini diadakan di luar program posyandu yang rutin dilakukannya lima kali setiap bulan. Tujuannya untuk mengantisipasi dampak negatif dari banyaknya ibu yang hamil muda.

Gayung bersambut, para ibu hamil cukup antusias mengikuti program ini. Tak kurang dari 80% dari keseluruhan jumlah ibu hamil di Desa Ploso hadir. Mereka biasa didampingi suami atau keluarganya.

Pakai pendekatan personal

Dengan mengumpulkan ibu hamil, bidan Siti dapat memberi penyuluhan dan memeriksa kesehatan mereka. Ia juga membekali anggota keluarga si ibu keterampilan untuk menangani kehamilan. Sehingga mereka cukup siap meskipun hamil usia dini. Siap menjadi ibu, siap memberikan ASI-nya, dan siap mendidik putra-putrinya menjadi anak yang cerdas pada saatnya nanti. “Bagi bayi itu ‘kan tidak ada sentuhan yang lebih nyaman kecuali dari tangan ibunya,” terang Siti.

Di kelas, Siti tidak hanya memberi penyuluhan soal soal gizi ibu hamil dan perawatan bayi. Ia juga mengkampanyekan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang lebih luas. Contoh, pengetahuan soal proses pembuahan dan penggunaan alat kontrasepsi. Namun begitu, Siti menegaskan fokusnya sebagai bidan adalah berusaha menjaga kesehatan ibu dan janin. “Hanya dengan cara itu harapan keduanya untuk selamat saat melahirkan bisa lebih besar,” kata perempuan kelahiran Nganjuk 6 Agustus 1972 ini.

Siti mengakui, mengajarkan pentingnya gizi kepada calon ibu yang masih terlalu muda itu bukan hal yang mudah. Karena itu, dia harus menggunakan pendekatan yang lebih personal. Caranya, ia mendatangi rumah para remaja hamil tersebut satu per satu. Kalau perlu menempuh perjalanan terjal dengan bentang alam yang berbukit-bukit. Maka ia sering meminta suaminya untuk mengantar, apalagi di malam hari.

Tidak lupa, Siti juga memberikan sesi khusus kepada keluarga dan para calon ayah. Harapannya, proses menjaga kehamilan dan kesehatan ibu dan janin dapat dilaksanakan intens karena ada dukungan dari orang-orang terdekat.

Dengan pendekatan seperti itu, para remaja yang hamil muda bisa lebih terbuka mengemukakan kondisi kehamilannya. Padahal, mereka sering merasa malu sehingga menjadi sangat tertutup dan tidak aktif di dalam kelas ibu hamil.

Pelatihan dan pendidikan tiap bulan ini terbukti berkontribusi nyata dalam meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu hamil. Buktinya, dari 58 persalinan yang ditanganinya hanya ada kasus 5 bayi dengan berat bayi lahir rendah. (Intisari)