Find Us On Social Media :

Bidan Siti Melawan Kehamilan Dini

By Rusman Nurjaman, Selasa, 9 Juli 2013 | 14:00 WIB

Bidan Siti Melawan Kehamilan Dini

Intisari-Online.com -  Hari kian beranjak siang. Kegiatan Posyandu balita dan acara temu kader bidan desa telah usai. Para ibu hamil, kader bidan, dan mantri desa, satu per satu meninggalkan Poliklinik Desa Ploso, Kecamatan Tegalombo, Pacitan. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Begitu pula Siti Kholifah, 41 tahun, sang bidan desa. Setelah membereskan ruang dan menata kembali berkas-berkas dan peralatan medis yang dipakainya, ia kembali ke rumah.

Namun rupanya Siti belum akan mengakhiri kegiatannya hari itu. Setelah istirahat dan salat duhur, ia segera beranjak. Kali ini ditemani sang suami, Suhardiyanto, yang baru pulang mengajar. Mereka mengendarai motor melewati jalan desa yang terjal dan berbukit-bukit. Medan tempat lokasi Siti tinggal dan mengabdi memang berat. Bentang alam pedesaan Ploso berbukit-bukit. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri.

Setelah berjalan sekitar 2 kilometer, mereka sampai pada satu titik persimpangan yang tak bisa lagi dilewati kendaraan motor. Jalan setapak yang menanjak terjal hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Rumah di atas bukitlah rupanya yang mereka tuju. Butuh sekitar 20 menit untuk mencapainya.

Di sana, Siti mengunjungi salah seorang pasien yang tengah hamil tua. Namun, umur Dewi, nama pasien itu, tak setua usia kehamilannya. Tahun lalu, ketika baru lulus SMP dan mendapati dirinya hamil tiga bulan, ia baru berumur 14 tahun. Sejak itu perkembangan kehamilannya tidak pernah luput dari pantauan Siti.

Hamil muda tinggi risiko

Sebagai bidan desa, kesehatan ibu hamil dan janin memang menjadi salah satu fokus Siti. Di sisi lain, hamil usia belia karena kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja bukanlah hal yang cukup mengejutkan bagi warga Ploso. Banyak kehamilan terjadi pada remaja SMP atau dalam rentang usia 12-15 tahun.

Kurangnya edukasi seks membuat anak muda berperilaku seksual membahayakan yang salah satunya berujung pada kehamilan. Setali tiga uang dengan budaya masyarakat yang membolehkan orang menikah di usia muda. Hal ini membuat Siti harus kerja ekstrakeras. Sebab, organ reproduksi perempuan baru benar-benar siap menerima janin pada usia 20 tahun ke atas.

Ironis memang. Pengetahuan soal kesehatan reproduksi mestinya bukan barang yang langka lagi. Apalagi di era sekarang, akses terhadap informasi dan pengetahuan kian mudah berkat kecanggihan perangkat teknologi informasi. Akan tetapi di beberapa tempat hal tersebut masih jauh panggang dari api. Kehamilan di usia belia tenyata masih menghinggapi sebagian kalangan masyarakat. Kasus di Desa Ploso ini adalah contohnya.

Siti Kholifah, bidan yang sudah 20 tahun bertugas di Desa Ploso, menyadari problem yang menjadi tanggung jawabnya itu. Menurut dia, setidaknya ada dua faktor penyebab. Pertama, faktor sosial-ekonomi. Mayoritas penduduk Desa Ploso hidup di bawah garis kemiskinan sehingga tidak mampu meneruskan sekolah. Kedua, faktor budaya. Banyak anak yang baru lulus SMP dianggap sudah besar dan sudah cukup umur untuk dicarikan jodoh. Kehamilan di usia yang masih terhitung belia pun tak terelakkan.

Nuryanti, 15 tahun, senasib dengan Dewi. Selepas lulus SMP, dia sudah hamil tiga bulan. Sebenarnya orangtuanya ingin dia lanjut sekolah. Namun karena hamil dan ada pasangannya, akhirnya mereka dinikahkan. Ketika tahu bahwa Nuryanti hamil, ibunya sempat merasa waswas. Namun keluarganya sudah siap menanggung risikonya.

Kelas buat ibu hamil

Siti menengarai, hamil muda memang sangat berisiko tinggi bagi si ibu, baik dari segi medis, mental, maupun sosial. Dari segi medis, ada risiko terjadi pendarahan sebab organ reproduksinya belum sempurna. “Secara mental pun kelak si ibu biasanya malu menyusui bayinya karena usianya masih terhitung belia,” papar ibu tiga anak ini. Dari sisi sosial-ekonomi, pasangan muda itu belum mapan sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri. Mereka masih menumpang dan bergantung pada orangtuanya masing-masing.