Praktik Pergundikan Era Kolonial Belanda Berakhir, Terbitlah Jugun Ianfu 'Budak Pemuas Hasrat' Tentara Jepang yang Penuh Tipu Muslihat

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Pergundikan berakhir setelah masuknya Jepang pada 1942 dan muncul jugun ianfu.

Intisari-Online.com- Elite masyarakat dan para penguasa di banyak peradaban kuno biasanya tak hanya memiliki seorang istri, tapi juga memilikiselir atau gundik untuk beberapa tujuan.

Tujuan memiliki gundik yakni untukmeningkatkan prestise pria melalui kemampuannya untuk menghasilkan anak.

Tak hanya itu, kepemilikan akan gundik jugakesempatan tak terbatas untuk memanjakan hasrat seksual mereka.

Praktik ini tak terkecuali juga terjadidi era kolonial Hindia Belanda.

Para pejabat dari Belanda terbiasa mengambil selir atau gundik wanita di Nusantara yang kemudian disebut sebagai nyai.

Pergundikan dan kehidupan Nyai akhirnya berakhir setelah masuknya Jepang pada 1942.

Di era penjajahan Jepang ada praktik perbudakan seks yang lebih kejam yang disebut jugun ianfu.

Menurut catatan sejarah, pemerintah Jepang sudah menerapkan praktik Jugun Ianfu di seluruh kawasan Asia-Pafisik, termasuk Indonesia sejak 1942 hingga 1945.

Melansir Kompas.com, pada awal pendudukan Jepang di Indonesia, kondisi para Jugun Ianfu sebenarnya sudah terjamin, mulai dari makanan, obat-obatan, dan lain sebagainya.

Namun pada 1943, kondisi mulai berubah, di mana pemerintah Jepang menerapkan penjatahan makanan yang cukup ketat untuk Jugun Ianfu di Indoensia.

Akibatnya, banyak Jugun Ianfu Indonesia yang semakin tertekan hingga mengalami sakit, baik fisik maupun mental.

Mereka pun banyak yang harus menjalani pemeriksaan dan pengobatan secara rutin.

Pada 1945, ketika Jepang sudah hengkang dari Indonesia, para Jugun Ianfu dibebaskan.

Salah satu dampaknya adalah menyebabkan para Jugun Ianfu tidak diterima kembali di masyarakat pasca-kemerdekaan.

Ada yang kembali ke tempat asalnya, ada pula yang memilih untuk pergi jauh dan tidak diketahui keberadaannya.

Menurut hasil riset, wanita yang dijadikan Jugun Ianfu tidak hanya berasal dari Jepang, tetapi juga dari Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, dan beberapa wanita Eropa di daerah koloni.

Diperkirakan, jumlah Jugun Ianfu pada masa Perang Dunia II mencapai 20.000 hingga 30.000 wanita.

Namun, ada pula yang memperkirakan jumlah sebenarnya lebih dari ratusan ribu wanita dari beberapa negara.

Pada awalnya, Jugun Ianfu diambil dari desa-desa dengan cara perekrutan yang sangat tertutup.

Biasanya, pemerintah militer Jepang meminta bantuan dari camat dan lurah untuk bisa menarik para wanita menjadi Jugun Ianfu.

Dalam perkembangannya, sistem perekrutannya berubah.

Orang-orang dari rumah bordil biasanya menjebak para wanita dengan mengatakan bahwa mereka akan dipekerjakan di pabrik atau restoran.

Cara lain adalah dengan mengelabuhi para wanita dengan iming-iming akan dipekerjakan sebagai perawat di pos terdepan tentara Jepang.

Setelah direkrut, mereka dijanjikan akan ditempatkan di pos yang nyaman baik di negaranya sendiri atau di luar negeri.

Selain tipu muslihat, cara lain yang digunakan untuk bisa merekrut para wanita menjadi Jugun Ianfu adalah dengan kekerasan.

Bahkan wanita yang dijadikan Jugun Ianfu banyak yang diculik langsung dari rumah-rumah di wilayah pendudukan Jepang.

Pemerintah Jepang juga tidak memandang usia wanita yang mereka jadikan budak seksual.

Tidak sedikit dari mereka masih berusia belia.

Baca Juga: Kegilaan Raja Shaka Zulu: Tiap Kali Gundik-gundiknya Hamil, 'Napoleon Afrika' Ini Tak Ragu Lakukan Hal Mirip Firaun di Zaman Musa

(*)

Artikel Terkait