Find Us On Social Media :

Lee Kuan Yew: Awal Pertemuan dengan Kekasih Hati

By K. Tatik Wardayati, Senin, 23 Maret 2015 | 15:00 WIB

Lee Kuan Yew: Awal Pertemuan dengan Kekasih Hati

Penjarah dipancung

Mula-mula ayah saya tidak bekerja dan kami tidak bersekolah. Kami selalu merasa terancam dan sedapat-dapatnya tinggal saja di rumah, menghindari kontak dan konflik dengan penguasa.

Saya pernah melihat segerombolan manusia merubung kepala seorang Cina yang ditaruh di atas tiang di depan bioskop Cathay. Di situ tertulis dalam aksara Cina bahwa orang itu dipancung karena menjarah. Orang-orang yang berani melanggar hukum akan mengalami nasib yang sama. Pencurian memang lantas lenyap.

Akhir 1943 saya membaca iklan yang dipasang departemen penerangan atau lebih tepat departemen propaganda Jepang, Hodobu, di Syonan Shimbun. Mereka membutuhkan redaktur-redaktur yang menguasai bahasa-Inggris. Saya melamar dan diterima. Kantornya di Cathay Building.

Pekerjaan saya adalah membaca berita-berita yang dikirim lewat kawat oleh kantor-kantor berita Sekutu  seperti Reuters, UP, AP, Central News Agency of China, dan TASS. Berita-berita itu ditulis dengan sandi Morse dan ditangkap oleh operator-operator radio Melayu.

Saya harus "menerjemahkan" sandi itu dan mengisi kata-kata yang hilang dengan mengandalkan konteks. Berita dari pelbagai medan perang itu kemudian dirangkum dan dikirim ke lantai bawah. Di sini, rangkuman itu direkayasa oleh  Jepang dan disiarkan. Kerja saya dimulai pukul 19.00 waktu Tokyo atau pukul 17.30 waktu Singapura.

Menjelang akhir tahun 1943 bahan makanan makin langka. Makanan sudah bulukan pun masih kami makan. Kami menjadi kurus-kurus. Ibu saya, seperti banyak orang lain, berusaha mencukupi tuntutan perut kami sedapat-dapatnya. Beras dicampur dengan jewawut dan jagung.

Kami juga makan makanan yang belum pernah kami makan, seperti pucuk ubi atau singkong yang dimasak dengan santan. Makanan pengganti itu terasa enak juga tetapi gizinya rendah. Baru sejam makan adik-adik saya yang laki-laki dan saya sudah-kelaparan lagi.

Sementara itu inflasi meningkat terus. Pertengahan 1944 sudah tidak mungkin lagi hidup dari gabungan gaji ayah saya, adik saya Dennis dan saya. Ibu saya membuat kue-kue yang laku dijual dengan bahan seadanya.

Akhir 1943 itu mobil orang sipil sudah tidak kelihatan. Bensin tidak ada. Taksi dijalankan dengan arang dan kayu bakar. Sepeda pun memakai ban mati. Karena. tekstil langka, kami memakai kain tired untuk membuat celana dan kemeja.

Gara-gara lem

Lebih mudah dan lebih banyak hasilnya bekerja sebagai makelar di pasar gelap. Pusatnya di High Street dan Chulia Street. Akhirnya, saya pun menyambi sebagai makelar. Saya belajar membeli perhiasan lalu menyimpannya sebelum dijual lagi pada saat harganya sudah jauh lebih tinggi.

Kunci dari mempertahankan hidup adalah improvisasi. Saya ditanyai oleh Basrai Brothers, pengusaha alat-alat tulis di Chulia Street, apakah saya bisa membuat perekat. Mereka memerlukannya. Ketika bertemu dengan Yong Nyuk Lin, lulusan Raffles College jurusan sains, saya tanyakan kepadanya apakah ia bisa membuat lem. Bisa, katanya. Saya pun mendanai percobaannya.

Kami membuatnya di dua tempat: di rumah saya dan di rumah Nyuk Lin. Saya dibantu ibu dan adik perempuan saya. Nyuk Lin dibantu istri dan adik istrinya, Kwa Geok Choo, satu-satunya  siswa Raffles College yang prestasinya melebihi saya.

Ketika pertama kali datang dengan mengendarai sepeda saya yang berban mati ke flat Nyuk Lin di Tiong Bahru, saya melihat Geok Choo sedang duduk di beranda. Ia sedang menganggur. Di rumah ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena tidak ada pembantu. Membuat lem mendatangkan uang saku baginya.

--

Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 1999 dalam rubrik Cukilan Buku, ditulis oleh Helen Ishwara, dengan judul asli Lee Kuan Yew Masa Mudanya Penuh Derita.