Find Us On Social Media :

Lee Kuan Yew: Awal Pertemuan dengan Kekasih Hati

By K. Tatik Wardayati, Senin, 23 Maret 2015 | 15:00 WIB

Lee Kuan Yew: Awal Pertemuan dengan Kekasih Hati

Intisari-Online.com – Tanggal 16 September 1998, penduduk Singapura antre untuk membeli buku The Singapore Story, Memoirs of Lee Kuan Yew. Jilid I riwayat menteri senior dan bekas perdana menteri mereka itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-75. Di antara orang asing yang dimintai pendapat sebelum buku ini diterbitkan terdapat mantan Menkeu RI AH Wardhana, mantan Menlu Mochtdr Kusumaatmadja, dan Menko Wasbang Hartarto. Inilah kisah masa muda Lee Kuan Yew yang penuh derita, awal pertemuannya dengan kekasih hati.

--

Saya pertama kali ketanggor serdadu Jepang di seberang Red Bridge. Beberapa tentara Jepang yang berjaga di jembatan berteriak "Kore, kore!" sambil memberi isyarat agar saya menghampiri. Seorang di antaranya menusukkan bayonet ke topi saya dan mencampakkannya. Saya ditampar dan diberi isyarat agar berlutut. Lalu ia menendang dada saya dengan sepatu boot-nya sampai saya terkapar di jalan.

Perlakuan yang saya dapat itu masih mending dibandingkan dengan yang dialami orang-orang lain. Padahal kami cuma tidak tahu kalau mesti membungkuk kepada serdadu Jepang yang berjaga di jalan atau jembatan.

Hari itu juga beberapa serdadu Jepang dan seorang perwiranya datang ke rumah kami di Norfolk Road. Setelah memeriksa seluruh rumah, mereka memutuskan akan menempatkan satu peleton di situ. Tentu saja saya risau.

Mereka menjarah makanan ibu saya di lubang perlindungan. Mereka menyatakan keinginan-keinginannya dengan bahasa isyarat. Kalau saya tidak paham atau lambat mengerti, saya ditampar. Rasanya seperti hidup di neraka. Mereka meninggalkan rumah kami tiga hari kemudian.

Tak lama setelah tentara Jepang meninggalkan rumah kami, tersiar berita bahwa orang-orang Cina harus mendaftarkan diri di stadion Jalan Besar. Karena khawatir dihukum kempetai (polisi militer Jepang) kalau tidak taat, bersama Teong Koo saya menuju ke Jalan Besar.

Kamar sewaan Teong Koo berada di penginapan para penarik rickshaw. Ternyata daerah itu sudah dipagari kawat berduri. Puluhan ribu keluarga Cina tinggal bersesak-sesak di sini. Semua jalan keluarnya dijaga kempetai.

Setelah menginap semalam di kamar Teong Koo, saya berniat keluar dari kawasan itu, tetapi tidak diperbolehkan oleh serdadu penjaga pintu. Saya malah disuruh bergabung dengan sejumlah pemuda Cina. Saya mendapat firasat buruk. Jadi, saya pura-pura mau mengambil barang-barang saya dulu.

Saya kembali ke kamar Teong Koo dan bersembunyi di sana satu setengah hari. Setelah itu saya mencoba lagi keluar. Entah mengapa, sekali ini saya berhasil. Lengan kiri atas saya dan bagian depan kemeja saya dicap dengan aksara kanji "jian", artinya "sudah diperiksa".

Kemudian saya dengar bahwa orang-orang yang dicomot secara acak dari pintu keluar yang saya lalui, diangkut ke pantai dekat Penjara Changi. Jumlah mereka 40 - 50 truk. Di situ, dalam keadaan terikat dengan yang lain, mereka dipaksa berjalan ke laut sambil diberondong senapan mesin. Jenazah mereka dibiarkan terombang-ambing air laut.

Jepang membantai orang-orang yang diambil secara acak itu karena penduduk Cina Singapura pernah mengumpulkan dana untuk membantu negeri Cina saat diserbu Jepang dan juga pernah memboikot barang-barang Jepang.