Find Us On Social Media :

5 Tahun Jatuhnya Pesawat Sukhoi di Gunung Salak: Sukhoi, Duh Gusti!

By Lily Wibisono, Selasa, 9 Mei 2017 | 08:30 WIB

Sukhoi, Duh Gusti!

Intisari-Online.comJatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 RA-36801 lima tahun lalu (9/5/2012) secara khusus membawa kenangan tersendiri bagi awak redaksi berbagai media Kompas Gramedia Majalah. Sebab, dua orang korban jatuhnya pesawat tersebut merupakan awak redaksi dari majalah Angkasa. Kira-kira, seperti inilah renungan kami.

---

Sejak hari Rabu (9/5/2012) sore kami yang berkantor di Gd. Kompas Gramedia, Jln. Panjang 8A bekerja dengan tak fokus. Dua sejawat kami, Dody Aviantara dan Didik Nur Yusuf ada di pesawat Sukhoi Superjet 100 RA-36801 yang hancur menabrak tebing Gunung Salak, di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Cidahu, Bogor, Jabar.

(Baca juga: 5 Tahun Jatuhnya Sukhoi di Dunung Salak: Inilah Profil Pesawat 'Nahas' Sukhoi Superjet 100) Didik sebenarnya lebih tepat “terbawa”, karena menurut istrinya, Nurlaila, ia pamit hanya mau standby saja. Bahkan konon ia pernah mengungkapkan nazar untuk tidak terbang di pesawat baru. Lalu mengapa ia akhirnya “terbawa”? Pilot pesawat baru yang nahas itu, Aleksandr Yablontsev, adalah pilot matang dengan sejarah karier yang bagus. Kelahiran Warsawa, Polandia, pada 3 April 1955, ia telah menerbangkan 221 jenis pesawat dan mengantongi lebih dari 14 ribu jam terbang.

Selama tujuh tahun, 1989-1996, ia bergabung dalam korps kosmonaut. Ia juga pernah menjadi inspektur penerbangan di Pusat Penerbangan Sipil (Central Civil Aviation Office). "Saya bertugas menginspeksi kru penerbangan di beberapa pesawat termasuk Arbus A320," katanya, menurut Tempo.com. 

(Baca juga: Ini Penyebab Sukhoi Jatuh) Pesawat Sukhoi sendiri dikabarkan adalah pesawat canggih dengan teknologi fly by wire. Ketika pesawat Sukhoi Superjet 100 pertama kali diuji coba pada tahun 2008, Yablonstev pula yang mengendarai pesawat tersebut.

“Saya senang sekali bisa menjadi orang pertama yang menerbangkan pesawat yang mengagumkan ini. Pesawat ini sangat hebat. Saya berani mengatakan ini adalah pesawat terbaik yang pernah saya terbangkan sebagai kapten," ujarnya. Kini lihatlah, ia menjadi korban dari pesawat yang dibanggakannya. Atau barangkali kurang tepat mengatakan mereka semua menjadi “korban” pesawat Sukhoi? Sebagai pesawat komersial pertama buatan Sukhoi yang sedang dalam masa promosi untuk dipasarkan, bukankah “seharusnya” dalam kondisi prima? Faktanya, ada begitu banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan penerbangan. Bagaimana dengan faktor pengendalian oleh Air Traffic Center? Bagaimana pula dengan faktor penguasaan lapangan, dst.?

Nyatalah, masa depan bisnis Sukhoi akan sangat tergantung pada hasil penyelidikan di Gunung Salak. Tapi itu pasti akan memakan waktu cukup lama. Tinggallah kita duduk terpana menatap kosong. Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Ketidakmasukakalan yang butuh jawaban sesegera mungkin, kalau bisa. Di balik semua itu, misteri yang terdalam bukankah terletak pada hidup itu sendiri? Entah kenapa saya jadi teringat pada sajak terakhir yang ditulis oleh Rendra di ranjang sakitnya:

Seringkali aku berkata, Ketika semua orang memuji milikku Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: Mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita ………. Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika: Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku Gusti, Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah. “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.”

Ada masanya, tak ada kata yang cukup bertenaga untuk dibisikkan kecuali, “Duh Gusti …”; Dan saat ini adalah salah satunya.