Find Us On Social Media :

Kehidupan Para Gundiknya 'Pria Kulit Putih' di Hindia Belanda, Ada yang Anak-anaknya Punya Hak Seperti Orang Eropa hingga 'Privilege' Bebas Tahanan Kamp

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 28 Mei 2022 | 11:24 WIB

Kehidupan gundik atau nyai di Hindia Belanda

Intisari-Online.com - Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan kepada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ”gundik” atau ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.

Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan concubine, bijwijf, atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara. 

Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian. 

Membicarakan nyai berarti menelusuri sejarah terbentuknya status dan institusi ini dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda, khususnya pergeseran makna nyai dalam masyarakat.

Melansir Kompas.com, dalam Encylopaedie Nederlandsch Indie (1919), nyahi (nyai) merupakan panggilan kehormatan untuk perempuan yang lebih tua.

Istilah nyai dipasangkan dengan kiai, gelar kehormatan bagi seorang pria yang dianggap lebih tua serta mumpuni dalam ilmu dan pengalaman hidup.

Dengan demikian, istilah nyai mengalami pergeseran seiring dengan berdatangannya perempuan kulit putih (Eropa) ke Hindia.

Menurut Jean Gelman Taylor, pergeseran istilah nyai sebagai ”pembantu pribumi” bagi pria Eropa berlaku sejak awal 1826 meskipun sebenarnya jauh sebelumnya istilah nyai sudah dipakai.

Di antara berbagai tulisan yang membahas kisah per-nyai-an atau yang lebih sering disebut sebagai concubinat (pergundikan) di Hindia Belanda.

Misalnya kisah Lamira kelahiran Surabaya tahun 1853. Ia beribu seorang Jawa dan ayahnya dari kalangan Mardijker, para peranakan Portugis yang masih bisa berbicara bahasa Portugis.

Lamira bertemu dengan Johannes, seorang Indo-Eropa yang bekerja sebagai juru sita di Kediri, Jawa Timur.

Johannes lalu menjadikan Lamira sebagai nyai dan hidup layaknya suami-istri.