Find Us On Social Media :

Pantas Sampai Dimusuhi Seantero Wilayah Teluk, Negara Ini Paling Jago Cari Cuan di Tengah Konflik, Raup Untung dari Perang Rusia-Ukraina, Arab Saudi pun Siap Tersingkir

By May N, Sabtu, 14 Mei 2022 | 15:33 WIB

Ilustrasi jaringan gas Rusia-Eropa

Intisari - Online.com - Qatar telah menjadi negara yang penting bagi Eropa, karena digadang-gadang menggantikan impor energi dari Rusia.

Qatar bersama Australia ternyata adalah pengekspor gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, dan punya potensi menjadi sekutu komersial bagi negara-negara Uni Eropa.

Hampir 40% kebutuhan gas Eropa selama ini didapat dari Rusia.

Kini kebutuhan energi Eropa terhambat karena serangan Rusia ke Ukraina Februari lalu, membuat hubungan komersial kedua pihak di ambang kehancuran.

Eropa telah memulai kesepakatan jangka panjang untuk meningkatkan impor gas dari negara lain, tetapi langkah ini bukan solusi yang cukup untuk mengimbangi potensi kerugian jika menghentikan impor gas Rusia.

Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck baru-baru ini menyerukan langkah-langkah yang belum pernah ditempuh sebelumnya untuk mengurangi ketergantungan serta melawan apa yang dia lihat sebagai pemerasan energi oleh Kremlin.

Jerman belum bisa menerima kapal LNG dari negara lain karena perlu membangun fasilitas untuk memprosesnya, sebuah rencana yang mungkin memakan waktu tiga hingga lima tahun, menurut perhitungan pemerintah.

Terlepas dari kesulitan logistik dan mengingat keadaan yang mendesak, Habeck mengatakan, "Kita harus mencoba langkah yang tidak praktis."

Dan, Jerman mengambil kebijakan untuk menggunakan terminal LNG terapung, yang mampu menerima produk gas dari tempat-tempat yang jauh seperti AS atau Qatar.

Beginilah cara Qatar memasuki meja perundingan dengan posisi yang baik saat perang Ukraina berlangsung, tepat pada saat Qatar telah melakukan investasi secara signifikan untuk meningkatkan produksi dan infrastruktur gas.

"Tentu saja ada peluang untuk Qatar," kata Karen Young, peneliti senior dan direktur program ekonomi dan energi di lembaga pemikir Middle East Institute, di Washington DC, kepada BBC Mundo.

Yang kaya makin kaya