Penulis
Intisari-Online.com – Hari ini tanggal 2 Mei yang bertepatan pada Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah, juga merupakan Hari Pendidikan Nasional.
Setiap kali memperingati Hari Pendidikan Nasional, maka tokoh pendidikan nasional yang tidak akan pernah dilupakan adalah Ki Hajar Dewantara.
Suwardi yang adalah nama asli Ki Hajar Dewantara, menikah dengan Sutartinah, yang tidak lain adalah saudara sepupunya sendiri.
Wanita yang kemudian dikenal sebagai Nyi Hajar Dewantara ini merupakan anak Pangeran Sasraningrat, adik kandung Pangeran Suryaningrat, ayah Suwardi.
Perjodohan keduanya, antara Suwardi dan Sutartinah bisa dibilang unik.
Perkawinan mereka pun dilandasi oleh suatu keyakinan yang ada dalam keluarga Suwardi.
Ibu Suwardi, Dyah Ayu Suryaningrat, merupakan canggah, keturunan kelima, Nyai Ageng Serang, wanita pendekar di zaman Diponegoro.
Dia merasa mengemban amanat leluhurnya itu, yang pernah diikrarkan pada zaman Perang Diponegoro, yakni bahwa kelak harus ada keturunannya yang menjalin perkawinan dengan keturunan Pangeran Diponegoro.
Dalam keluarga keturunan Nyai Ageng Serang memiliki keyakinan bahwa bila keinginan Nyai Ageng Serang ini terkabul, maka perjuangan Pangeran Diponegoro mengusir kaum penjajah akan terlanjutkan.
Sutartinah lalu terpilih sebagai bakal istri yang tepat bagi Suwardi, karena Sutartinah adalah canggah Diponegoro.
Lalu, kesepakatan pun terjalin di antara dua keluarga kakak-beradik Pangeran Suryaningrat dan Sasraningrat, yaitu Suwardi, tidak bisa tidak, harus kawin dengan Sutartinah.
Hal itu dilakukan demi terpenuhinya amanat Nyai Ageng Serang.
Padahal waktu itu Sutartinah baru berusia 14 tahun dan Suwardi hanya satu tahun lebih tua.
Keluarga kedua belah pihak sebenarnya berhasrat secepatnya melangsungkan perkawinan anak-anak mereka.
Namun, pelaksanaan baru terjadi beberapa tahun kemudian, tahun 1907.
Tanpa sempat disaksikan para perancangnya, Raden Sasraningrat dan Dyah Ayu Suryaningrat, yang terburu wafat tak lama sebelumnya.
Saat menikah Suwardi berusia 18 tahun, sedangkan Sutartinah 17, mengutip Majalah Intisari edisi April 1989.
Mengingat kedua mempelai masih belia, oleh Penghulu Agama Paku Alaman pernikahan itu hanya disahkan sebagai nikah gantung.
Suwardi dan Sutartinah belum diperkenankan berkumpul sebagai suami-istri. Setelah itu mereka kembali hidup masing-masing, Sutartinah mengajar, sedang Suwardi meneruskan kuliahnya di STOVIA.
Perkawinan baru benar-benar diresmikan akhir Agustus 1913, tak lama sebelum mereka bersama-sama berangkat ke Negeri Belanda.
Karenanya, perjalanan ke tanah pembuangan ini sekaligus menjadi masa bulan madu bagi pasangan pengantin baru Suwardi dan Sutartinah, yang sampai akhir hayat terus bahu-membahu memperjuangkan nasib bangsa Indonesia.
Baca Juga: Tokoh Hari Kebangkitan Nasional, Mengenal SosokKi Hajar Dewantara
Baca Juga: Hardiknas: Ki Hajar Dewantara Pernah Siapkan Diri Jadi Tameng Bung Karno
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari