Find Us On Social Media :

Toleransi Agama di Bumi Nusantara: Jejak Islam di Pulau Seribu Pura

By Agus Surono, Jumat, 20 Mei 2022 | 13:08 WIB

Sebuah langgar di Kampung Suren Jawa Bali.

Intisari-Online.com - Dikenal sebagai wilayah dengan mayoritas beragama Hindu, Bali ternyata memiliki sejarah panjang tentang komunitas beragam lain. Selama berabad-abad mereka hidup berdampingan. Ikatan sejarah membentuk mereka menjadi kesatuan yang harmonis.

Hampir 20 tahun lalu, tepatnya 12 Oktober 2002, tiga bom meledak di tiga tempat yang berbeda di Bali, pulau seribu pura, yakni Sari Club dan Paddy's Pub di Kuta, serta di dekat Konsulat Amerika Serikat. Tiga bom meledak di waktu yang bersamaan yakni sekitar pukul 23.15 Wita. Tercatat 203 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera,

Tiga tahun kemudian, 1 Oktober 2005, kembali terjadi ledakan bom di dua kawasan wisata di Bali. Dua restoran di resor pantai Jimbaran, yang ketiga di Kuta berjarak 30 km. Korban kali ini 23 orang, dan 122 mengalami luka-luka.

Tragedi Bom Bali I disebut sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia. Tak hanya meninggalkan kesedihan bagi para korban. Aksi terorisme tersebut juga mengoyak industri pariwisata Bali, khususnya. Bali seakan mati suri dan perekonomian warga Bali ikut terpuruk.

Semenjak tragedi bom Bali, umat Islam mendapatkan banyak “musibah” dan sitgma negatif, baik dari penduduk lokal maupun luar Bali. Situasi seperti menguji kerukunan umat Hindu dengan umat Islam. Meski Bali didominasi umat Hindu, namun di tengah-tengah mereka sebenarnya terserak masyarakat Islam yang hidup berdampingan berabad-abad lamanya.

Ya, berabad-abad jika menilik pertama kali Islam masuk ke Bali pada abad ke-14.

Bermula dari pengantar

Jejak keislaman di Bali bisa setidaknya dirunut dari hubungan diplomatik yang baik antara Majapahit sebagai negara penguasa dengan Bali sebagai negara vasal (negara yang dikuasai). Pada 1380-an, Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi di kerajaannya, sehingga ia mengundang negara-negara koloni Majapahit dari seluruh wilayah Nusantara. Kerajaan Gelgel di Bali sebagai negara taklukan pun turut diundang, yang diwakili oleh Dalem Ketut Ngalesir (1380- 1460). Kerajaan Gelgel adalah pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertua Dalem Ketut Ngalesir.

Setelah menghadiri pertemuan tersebut, perjalanan pulang raja pertama Kerajaan Gelgel tersebut diantar oleh 40 prajurit Majapahit yang beragama Islam. Prajurit Majapahit tersebut kemudian menetap dan membangun masyarakat sendiri di Gelgel, yang kemudian dikenal dengan Kampung Gelgel.

Informasi di atas diperkuat sumber lisan yang dikumpulkan dari cerita-cerita lisan komunitas muslim di Kampung Gelgel secara turun temurun. Seperti dicatat buku Bulan Sabit di Pulau Dewata, Jejak Kampung Islam Kusamba-Bali, tulisan I Gde Parimartha, Ida Bagus Gde Putra, dan Luh Pt.Kusuma Ririen, warga Islam yang pertama kali datang ke Gelgel (sebagai pusat pemerintahan di Bali sejak abad XIV) adalah rombongan pengiring raja sejumlah 40 orang dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Gelgel I, Ketut Ngalesir.

Sumber lain, dari Babad Dalem, menyebutkan yang berbeda. Bahwa pengislaman di Bali dilakukan oleh utusan dari Mekah ke kerajaan Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar abad ke-16. Hanya saja sumber itu tidak merinci lebih jauh, nama utusan dan kapan utusan tersebut datang menghadap raja. “Jika menilik sejarah, pada abad ke-15 dan ke-16 ada dua pusat kerajaan Islam di Jawa, yaitu Demak dan Mataram,” tulis historia.id.