Toleransi Agama di Bumi Nusantara: Jejak Islam di Pulau Seribu Pura

Ade S

Penulis

Sebuah langgar di Kampung Suren Jawa Bali.

Intisari-Online.com - Dikenal sebagai wilayah dengan mayoritas beragama Hindu, Bali ternyata memiliki sejarah panjang tentang komunitas beragam lain. Selama berabad-abad mereka hidup berdampingan. Ikatan sejarah membentuk mereka menjadi kesatuan yang harmonis.

Hampir 20 tahun lalu, tepatnya 12 Oktober 2002, tiga bom meledak di tiga tempat yang berbeda di Bali, pulau seribu pura, yakni Sari Club dan Paddy's Pub di Kuta, serta di dekat Konsulat Amerika Serikat. Tiga bom meledak di waktu yang bersamaan yakni sekitar pukul 23.15 Wita. Tercatat 203 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera,

Tiga tahun kemudian, 1 Oktober 2005, kembali terjadi ledakan bom di dua kawasan wisata di Bali. Dua restoran di resor pantai Jimbaran, yang ketiga di Kuta berjarak 30 km. Korban kali ini 23 orang, dan 122 mengalami luka-luka.

Tragedi Bom Bali I disebut sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia. Tak hanya meninggalkan kesedihan bagi para korban. Aksi terorisme tersebut juga mengoyak industri pariwisata Bali, khususnya. Bali seakan mati suri dan perekonomian warga Bali ikut terpuruk.

Semenjak tragedi bom Bali, umat Islam mendapatkan banyak “musibah” dan sitgma negatif, baik dari penduduk lokal maupun luar Bali. Situasi seperti menguji kerukunan umat Hindu dengan umat Islam. Meski Bali didominasi umat Hindu, namun di tengah-tengah mereka sebenarnya terserak masyarakat Islam yang hidup berdampingan berabad-abad lamanya.

Ya, berabad-abad jika menilik pertama kali Islam masuk ke Bali pada abad ke-14.

Bermula dari pengantar

Jejak keislaman di Bali bisa setidaknya dirunut dari hubungan diplomatik yang baik antara Majapahit sebagai negara penguasa dengan Bali sebagai negara vasal (negara yang dikuasai). Pada 1380-an, Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi di kerajaannya, sehingga ia mengundang negara-negara koloni Majapahit dari seluruh wilayah Nusantara. Kerajaan Gelgel di Bali sebagai negara taklukan pun turut diundang, yang diwakili oleh Dalem Ketut Ngalesir (1380- 1460). Kerajaan Gelgel adalah pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertua Dalem Ketut Ngalesir.

Setelah menghadiri pertemuan tersebut, perjalanan pulang raja pertama Kerajaan Gelgel tersebut diantar oleh 40 prajurit Majapahit yang beragama Islam. Prajurit Majapahit tersebut kemudian menetap dan membangun masyarakat sendiri di Gelgel, yang kemudian dikenal dengan Kampung Gelgel.

Informasi di atas diperkuat sumber lisan yang dikumpulkan dari cerita-cerita lisan komunitas muslim di Kampung Gelgel secara turun temurun. Seperti dicatat buku Bulan Sabit di Pulau Dewata, Jejak Kampung Islam Kusamba-Bali, tulisan I Gde Parimartha, Ida Bagus Gde Putra, dan Luh Pt.Kusuma Ririen, warga Islam yang pertama kali datang ke Gelgel (sebagai pusat pemerintahan di Bali sejak abad XIV) adalah rombongan pengiring raja sejumlah 40 orang dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Gelgel I, Ketut Ngalesir.

Sumber lain, dari Babad Dalem, menyebutkan yang berbeda. Bahwa pengislaman di Bali dilakukan oleh utusan dari Mekah ke kerajaan Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar abad ke-16. Hanya saja sumber itu tidak merinci lebih jauh, nama utusan dan kapan utusan tersebut datang menghadap raja. “Jika menilik sejarah, pada abad ke-15 dan ke-16 ada dua pusat kerajaan Islam di Jawa, yaitu Demak dan Mataram,” tulis historia.id.

Jika melihat bahwa Demak saat itu menjadi pusat penyebaran agama Islam, sehingga diberi julukan kota Mekah di kawasan Nusantara, Mekah yang dimaksud sumber tadi kemungkinan besar merujuk ke Kerajaan Demak di Jawa. Sedangkan Dalem Waturenggong merupakan penerus Dalem Ngalesir. Abad itu juga menjadi puncak kejayaan Islam di Nusantara. Sementara kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, termasuk Majapahit, pengaruhnya kian surut akibat banyak kerajaan yang mulai menerima keberadaan agama Islam di wilayahnya.

Kerajaan Majapahit sendiri runtuh setelah mendapat serangan dari Kesultanan Demak pada 1518. Kehancuran Majapahit ini dimanfaatkan oleh Dalem Waturenggong untuk memerdekakan wilayah Bali dan memperluas wilayah kekuasaannya.

Diberikan wilayah khusus

Selain Kampung Gelgel, perkampungan muslim dapat dijumpai di seluruh pelosok kabupaten di Bali. Di Denpasar ada Kampung Kepaon, Kampung Serangan, dan Kampung Jawa. Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis. Di Kabupaten Jembrana ada Kampung Loloan dan Yeh Sumbul. Di Kabupaten Karangasem terdapat Kampung Ujung, Sidemen, Saren, dan Nyuling. Sedangkan di Kabupaten Buleleng kita menjumpai Kampung Pegayaman; dan di Kabupaten Gianyar terdapat Kampung Sindu Keramas.

Masing-masing kampung punya sejarah yang berbeda tentang asal-usul keislamannya. Namun ada pola umum terbentuknya kampung Islam di Bali. Yakni adanya ikatan historis antara kampung dengan kerajaan lokal (Puri) di Bali. Ikatan itu dibangun melalui kisah sejarah yang menyebutkan bahwa warga muslim di kampung-kampung tersebut berasal dari para prajurit Jawa, kawula asal Sasak (Lombok), atau etnis Bugis yang dilindungi dan diberi wilayah permukiman oleh para Raja Buleleng, Badung, dan Karangasem pada zaman kerajaan Bali.

Ambil misal Kampung Serangan di Kota Denpasar. Menurut cerita lisan, keberadaan Kampung Serangan berawal dari kedatangan seorang bangsawan bernama Syeikh Haji Mu dan 40 anak buah kapalnya yang melarikan diri dari Makassar, Sulawesi Selatan, karena tidak sepaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya. Awalnya, kedatangan Syeikh Haji Mu di pulau Bali dicurigai oleh penguasa Puri Badung.

Karena dianggap mata-mata Belanda, Syekh Haji ditawan oleh Puri. Namun mereka berhasil meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pamecutan III, bahwa mereka bukanlah mata-mata Belanda. Akhirnya Syekh Haji Mu pun dibebaskan dan tinggal di Istana Puri Pamecutan untuk sementara. Baru kemudian mereka dipindahkan ke Kampung Celagi Gendong, sebelah barat kerajaan, agar tidak bercampur dengan warga.

Dalam perjalanan waktu, ternyata kerajaan terkesan dengan keahlian perantau Bugis ini dalam melaut sehingga mereka pun akhirnya direlokasi ke ke Pulau Serangan, yang saat itu masih hutan belantara. Sejak saat itu, Syeikh Haji Mu dan pengikutnya menetap Pulau Serangan. Hubungan antara perantau Bugis dengan Kerajaan Badung semakin berjalan erat. Bahkan kemudian Haji Mu meminta izin kepada Raja Pamecutan untuk membuatkan satu tempat ibadah kecil, atau mushola. Izin pun dikabulkan.

Sampai saat ini, mushola itu masih berdiri kokoh, meskipun sudah direnovasi dan berubah menjadi masjid yang dikenal dengan Masjid Asysyuhada. Ikatan historis antara Kampung Islam Bugis Pulau Serangan dengan Kerajaan Pamecutan Badung mengkristal menjadi persaudaraan Islam-Hindu hingga saat ini.

Pola serupa terjadi di kampung-kampung yang sudah disebut tadi. Kampung Islam umumnya berasal dari tanah catu, pemberian Puri (negara tradisional) bagi perantau dari Jawa, Lombok, maupun Bugis-Makassar. Para penguasa saat itu dengan sengaja menempatkan mereka dalam wilayah permukiman yang terpisah dengan warga Bali yang beragama Hindu. Wilayah baru itu umumnya hutan atau wilayah-wilayah pesisir dekat dengan pelabuhan. Dalam wilayah itu, warga muslim diberi kebebasan dan otonomi untuk beribadat dan memiliki pemerintahan sendiri yang bersifat self governing community.

Pola terbentuknya kampung Islam itu kemudian bermetamorfosis menjadi desa dinas. Ciri utama desa dinas adalah heterogenitas, tempat tinggal warga muslim berbaur dengan warga Bali yang beragama Hindu. Warga memperoleh perlindungan dan pelayanan administratif dari desa dinas.

Dua penanda

Dalam perkembangan kemudian, kita bisa menandai perkampungan Islam di Bali dengan dua hal: langgar atau masjid dan makam keramat. Karena terpengaruh budaya Bali, langgar umumnya memiliki karakter arsitektur yang berbeda dengan langgar atau masjid pada umumnya saat ini. Misalnya, langgar di Dusun Saren, Budakeling, memiliki arsitektur dengan model atap bersusun. Demikian pula dengan langgar yang dibangun di atas lahan pemberian Raja Karangasem seluas 4,5 hektare. Langgar ini adalah langgar tertua di Bali Timur dan masih dipertahankan keasliannya. Arsitektur langgar ini berbentuk layaknya Masjid Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Ia memiliki empat pilar sebagai soko guru ‘pilar utama’ yang menopang atap bersusun dua. Pada sisi-sisi langgar terdapat tiga pintu masuk terbuat dari kayu asli berusia ratusan tahun. Sementara di dalamnya, ada 12 pilar pendukung soko guru.

Seiring waktu langgar berubah menjadi masjid. Meskipun masih menggunakan ornamen Bali, gaya arsitektur langgar dengan atap bersusun seperti Meru tidak lagi digunakan. Masjid-masjid baru yang dibangun di kampung Islam menggunakan kubah dan menara. Persis dengan arsitektur masjid kebanyakan.

Ciri kedua dari kampung Islam di Bali adalah makam keramat. Di Kampung Islam Serangan terdapat sebuah kuburan Bugis Kuno yang saat ini khusus digunakan untuk mengubur warga Kampung Islam Bugis. Di makam ini, Syeikh Haji Mu beserta pengikutnya hingga turun temurun dimakamkan.

Selain di kampung Serangan, makam keramat juga dapat dijumpai di kampung Saren Jawa, Budakeling, Kampung Kusamba, dan Kampung Kepaon, Denpasar. Di Kampung Kepaon, makam yang dianggap keramat adalah makam Raden Ayu Siti Khodijah, yang bernama asli Ratu Ayu Anak Agung Rai (adik Raja Cokorda III dari Puri Pamecutan. Beliau dipersunting oleh Pangeran Sosrodiningrat yang berasal dari Jawa). Makam keramat itu menarik karena yang dimakamkan di sana adalah puteri Raja Puri Pamecutan, yang memeluk Islam setelah dinikahi Pangeran Sosrodiningrat. Tidak aneh jika kemudian makam tersebut dibangun dengan gaya arsitektur khas Bali dan banyak ornamen yang menggunakan hiasan Bali.

Makam itu sekaligus menjadi simpul ikatan historis antara warga kampung Islam Kepaon dengan Puri Pamecutan. Bahkan yang kini memelihara Makam Keramat Pamecutan adalah Bapak K.H.M. Ishaq, sesepuh atau tetua Kampung Islam Kepaon, yang juga menjadi tetua umat Islam Kepaon. Juru kunci makam diberi wewenang untuk mengawasi dan memelihara makam Keramat Pamecutan oleh kerabat Puri Pamecutan sampai sekarang.

Makam keramat lain yang menjadi simbol ikatan warga muslim di Bali dengan Puri adalah makam keramat Raden Mas Sepuh. Lokasi makam keramat ini berada di luar permukiman kampung Islam, yakni terletak di Pantai Seseh, Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Raden Mas Sepuh adalah putra Raja Mengwi I. Sejak kecil, ia diasuh oleh ibunya, seorang muslimah asal Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dihormati oleh umat Hindu. Bahkan, juru kuncinya adalah orang Hindu.

Majapahit Memelopori

Fenomena kampung Islam di Bali ternyata sudah ada di Kerajaan Majapahit yang juga mayoritas menganut agama Hindu. Keberadaan komunitas muslim itu terlihat dari keberadaan makam Troloyo,

Situs makam Troloyo terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Di makam tersebut terdapat beberapa makam kuna yang secara kronologis usianya lebih tua dibanding dengan makam para wali penyebar Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo.

Di situs tersebut terdapat sepuluh buah makam yang pada bagian nisannya terdapat inskripsi dengan aksara Jawa kuna dan inskripsi berhuruf serta berbahasa Arab. Dari inskripsi yang beraksara Jawa kuna menunjukkan angka tahun tertua, yaitu 1203 Caka atau 1281 Masehi. Sementara angka tahun termuda menunjuk pada angka tahun 1533 Caka atau 1611 Masehi.

Kemudian dari inskripsi yangberhuruf dan berbahasa Arab merupakan kutipan dari kalimat thayyibah dan kutipan ayat-ayat Alquran.

Berdasarkan inskripsi yang terdapat di kompleks makam Troloyo tersebut dapat diprediksi bahwa kehadiran masyarakat muslim di tengah Kerajaan Majapahit berkisar antara abad ke-13 dan abad ke-17 Masehi. (Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota, editor: Prof. Dr. Inajati Adrisijanti)

Baca Juga: Toleransi Agamanya Dipuji Setinggi Langit, Mendadak Media Vietnam Ini Soroti Perayaan Imlek di Indonesia, Sambil Sebut Presiden Indonesia Ini dan Gejolak Indonesia di Masa Lalu

Artikel Terkait