Find Us On Social Media :

Mengintip Kekejaman dari Balik Kamera

By Agus Surono, Rabu, 13 Juni 2012 | 16:00 WIB

Mengintip Kekejaman dari Balik Kamera

Juru bahasanya filsuf

Kami berdesakan dengan karung garam dan padi-padian yang akan diantarkan ke kamp pengungsi Salvador tak jauh di perbatasan di wilayah Honduras. Mendaratnya di sebuah runway lereng bukit dengan hidung pesawat menghadap ke puncak bukit. Setelah pendaratan yang penuh guncangan tapi aman, dengan mengendap-endap kami lolos dari pengawasan petugas Honduras, lalu bersembunyi di desa sampai malam tiba.

Kali ini Jon Snow, Don Warren, dan saya ditemani oleh Renato, juga orang Italia. Renato bukan orang Italia sembarangan. Ia seorang filsuf. Gelar akademiknya banyak, salah satunya adalah doktor untuk sejarah Italia Abad Pertengahan. Di saat-saat sulit, atau sebaliknya, bila bintang-bintang di langit amat cerah, meluncurlah dari bibirnya kutipan-kutipan panjang karya Dante dalam bahasa Italia abad XIV!

Ketika hari sudah cukup gelap, Renato mengantar kami ke tempat pertemuan. Dari jalan raya kami belok menembus semak belukar sejauh ± 40 m sampai terlihat sekitar selusin gerilyawan bersenjata sedang merokok dengan kalemnya menantikan kami. Pemimpinnya seorang berpendidikan yang khusus diutus dari pucuk pimpinan untuk menemani kami. Singkatnya, dia bagian humas mereka. Honduras dan El Salvador dipisahkan oleh S. Lempa yang lebar dan deras arusnya. Sungai ini menembus pegunungan yang akan berbahaya diseberangi pada malam hari. Kami berkemah di hutan, tidur di kantong tidur.

Ketika pagi merekah, satu per satu dari kami ditumpangkan pada kano mini dari bekas drum bensin. Mereka sendiri berenang untuk mendorong kami ke seberang. Kemudian berminggu-minggu kami berjalan menembus semak belukar. Setiap pagi di saat kami bangun, rasanya jumlah anggota rombongan semakin banyak.

Medan yang kami lalui, perbukitan yang diselimuti hutan lebat. Pada saat jalan setapak sampai di ujungnya, kami pun membuka jalan dengan machete (sejenis golok). Boleh dikata selama terang tanah kami berjalan, bahkan terkadang selama 24 jam nonstop. Bila kami bertanya "Masih jauhkah?" jawabannya selalu, "Ya, beberapa jam lagi." Saya rasa diam-diam mereka senang melihat kami menderita.

Setelah berminggu-minggu berjalan, tidur di tanah ternyata bukan soal lagi. Apalagi ditambah dengan setengah tablet morfin yang kami bawa dalam kotak PPPK. Suatu hari Don bangun dengan bentol-bentol di seluruh tubuhnya yang tidak terlindung. Entah serangga apa yang menggigitnya.

Sarapan selalu berupa kopi dan tortilla dari tepung jagung. Makan siang hanya berupa istirahat 5-10 menit dengan menu sama. Bila mampir di desa, penduduk menyuguhi kami sekenyang- kenyangnya. Sayang, menu makanannya juga tortilla lagi, cuma dalam porsi besar.

Kaki kami sudah tentu lecet-lecet. Letihnya luar biasa, belum lagi efek dataran tinggi. Kadang-kadang, setelah berjam-jam berjalan, mendadak kami sadar, tadi matahari ada di depan, kok kini di belakang? Rupanya kami berjalan memutar untuk menghindari patroli tentara. Sekali kami keluar di tanah terbuka sejauh 1 mil. Tapi dalam jarak sependek itu, tiga kali kami harus menyuruk ke dalam semak-semak karena pesawat patroli tentara lewat.

Jon hampir saja!

Tidak heran setibanya di Kamp Penas Blancas, kami benar-benar "habis". Sebuah gubuk khusus didirikan untuk kami dengan tempat tidur jala gantung. Tanpa ba-bi-bu lagi langsung kami jatuhkan diri di jala itu. Waktu bangun, biar bentuk badan melengkung seperti pisang, tidur 17 jam nonstop telah memulihkan tenaga.

Dua hari berikutnya kami rekam kehidupan desa. Desa ini cukup besar. Selain tentara gerilya, ada 200-an wanita dan anak-anak. Bahkan sekolah, bioskop, dan "pabrik" seragam pun ada. Di tengah desa ada tanah terbuka dengan sebuah pohon mangga yang amat besar dan rimbun. Itulah tempat pertemuan mereka.