Find Us On Social Media :

Mengintip Kekejaman dari Balik Kamera

By Agus Surono, Rabu, 13 Juni 2012 | 16:00 WIB

Mengintip Kekejaman dari Balik Kamera

Intisari-Online.comPeople I Have Shot (1990) karya Sebastian Rich dan Lise Mayes mampu membuat pembacanya larut dalam pengalaman penulisnya yang amat beragam. Dari hujan bom di Libanon sampai memukul pantat pangeran Inggris. Buku ini adalah potret profesionalisme seorang juru kamera berita, yang tahun 1985 meraih predikat "Cameraman of the Year" Inggris.

Tanggal 17 Agustus 1953 ibu melahirkan bayi terpanjang yang pernah dilahirkan di RS Hyde Park Corner, London, sepanjang kurun waktu 50 tahun. Bisa dikata itulah satu-satunya "prestasi" saya semasa kanak-kanak.

Ibu saya, Melody Wendy Florence North Squires, lahir dan dibesarkan di Yangoon (Rangoon), Myanmar (Birma). Kakeknya komisaris tinggi Inggris di Myanmar. Sebagai hakim keliling, orang menyebutnya "algojo". Neneknya, Gaga, pemuka suku, asli Myanmar.

Nenek buyut Gaga memang bukan wanita sembarangan. Ketika dua ekor ular kobra menyusup ke rumah, ia menembaknya dengan revolver, lalu kulit kobra yang malang itu ia suruh buat sandal! Ketika Jepang menyerbu, Gaga yang sudah janda membawa kabur putri dan cucu perempuannya yang waktu itu masih kecil, berikut emas berlian senilai £ 250.000 menuju lapangan udara terdekat. Dengan menodong seorang pilot, ia terbang ke sebuah bandara milik Inggris. Lalu dari sana baru kabur ke Inggris.

Ibu saya pemain piano dan cello konser profesional. Sebaliknya, ayah berasal dari keluarga pekerja. Kakek ahli mesin pesawat terbang, sementara ayah beralih-alih profesi dari pelukis sampai sutradara film.

Berhubung profesi ayah yang berganti-ganti terus dan ayah-ibu sering bertengkar, semasa saya kanak-kanak kami terus berpindah-pindah keliling Eropa. Kalau tidak menumpang di rumah kawan, ya kenalan atau famili.

Batal jadi bandit

Walaupun termasuk anak badung, sejak masih sekolah saya sudah tertarik pada fotografi. Saya ikut kursus. Tapi akibat tertangkap basah mengendarai skuter curian, saya dikurung di penjara remaja Brostal selama 3 bulan. Di sana tak cuma dikurung 24 jam, tapi juga harus berkelahi untuk bertahan hidup. Maka begitulah, saya "lulus" dari sana sebagai bajingan cilik. Hanya beberapa bulan kemudian saya ngebut, tapi dibebaskan dengan masa percobaan 6 bulan.

Kebadungan saya tak berhenti di situ. Tanpa sepengetahuan ibu, saya keluar dari sekolah setahun lebih awal, lalu bekerja serabutan: di studio foto, di tukang daging, sampai pernah pula magang di tukang sofa. Sementara itu banyak kawan saya yang sedang ambil ancang-ancang jadi penjahat tulen. Suatu kali saya diajak ikut latihan. Mereka akan merampok kantor pos, saya disuruh jadi sopir merangkap pengawas di luar.

Untung saja, pada hari yang sama saya mendapat tawaran menjadi asisten kamar gelap studio foto. Saya pilih yang ini. Kalau tidak, mungkin saya sudah berkarier di dunia kriminalitas. Gara-gara pekerjaan ini pula, minat saya pada fotografi disegarkan lagi. Sayang, pekerjaan ini pun tidak tahan lama. Habis, saya ditawari kenaikan gaji £ 50 asalkan mau "main-main" dengan bos pria saya. Tentu saja saya ogah. Untung waktu itu pekerjaan masih gampang, meski untuk anak ingusan tanpa pengalaman macam saya.

Saya langsung bekerja lagi di perusahaan pemrosesan film, kemudian pindah ke bagian perawatan di perusahaan Lee Electric. Tapi lagi-lagi saya dipecat akibat dosa yang berjibun: mabuk, mencuri truk generator, lalu menjungkirbalikkannya di stasiun bawah tanah Park Royal.

Masih untung saya cuma ditendang ke luar. Sejak itu saya belajar menghadapi hidup secara lebih serius. London di tahun '60-an adalah masa jaya-jayanya fotografi. Saya gaet pekerjaan yang lumayan tetap sebagai asisten freelance beberapa fotografer mode.