Find Us On Social Media :

Perang Itu Nafkahnya (1)

By Agus Surono, Selasa, 30 Oktober 2012 | 18:36 WIB

Perang Itu Nafkahnya (1)

Pamor orang Gurkha tidak lepas dari pengalaman tentara Inggris sejak 1,5 abad silam. Saat itu tentara sewaan East Britania mau mencaplok kawasan utara India. Letnan Frederick Young sekali waktu pada tahun 1814, terkepung dan nyaris dibantai segerombolan manusia mungil (dalam ukuran Eropa). Namun Young bersikeras bertahan dan tak mau lari.

"Mengapa kamu tidak lari seperti kawan-kawanmu?" tanya orang-orang liar dari kaki Pegunungan Himalaya itu. Young dengan tenang menjawab, "Saya sengaja datang dari jauh bukan untuk lari kembali setelah bertemu dengan musuh!" Terkejut mendengar jawaban itu, Young kemudian ditangkap dan malah diperlakukan dengan terhormat. Selama ditahan, Young berkenalan dan mencoba mempelajari adat kebiasaan orang-orang Gurkha itu. Lama-kelamaan hubungan mereka berkembang mesra. Akhirnya, pada suatu saat orang-orang liar itu justru berkata, "Kami bersedia bekerja dan mengabdi terhadap orang-orang seperti Anda."

Orang-orang Gurkha kemudian membebaskan Letnan Frederick Young. Ketika pada tanggal 25 April 1815 gubernur jenderal Inggris di India meresmikan berdirinya Batalion Pertama Gurkha, Young dipercaya untuk menjadi komandannya dan sekaligus merekrut orang-orang Gurkha itu. "Saya dulu ke sana seorang diri. Kini saya kembali dengan 3.000 prajurit," ujar Young bangga.

Dari tenaga sukarela pertama ini, Batalion Sirmoor di Dehra Dun terbentuk. Di sinilah awal orang Gurkha membentuk dirinya menjadi tentara perang yang piawai. Sejak saat itu, orang Gurkha selalu dihadirkan ke kancah-kancah perang yang sulit dan keras. Entah sebagai prajurit Inggris, entah sebagai prajurit India. "Mereka menjadi prajurit perang sejati, siap bertempur di bawah bendera negara yang memanfaatkannya," ujar seorang opsir senior Inggris.

"Berapa umurmu? Apakah kamu bersedia mati membela raja dan negaramu?"

Cuma dua pertanyaan ini yang selalu diajukan kepada seorang Gurkha yang berniat masuk menjadi prajurit. Lewat dua pertanyaan sederhana itu, mulailah pemuda-pemuda Gurkha usia sekitar 15 tahun meninggalkan kampung halamannya di India (saat itu Nepal belum merdeka) dan pergi ke luar negaranya untuk mengabdi kepada negara lain yang menghargai kemampuan perangnya hingga usia sekitar 40-an tahun.

Orang Gurkha selalu dijadikan prajurit yang menjadi ujung tombak peperangan. Orang Gurkha kurang menyukai kelas dan buku pelajaran, karenanya mereka akan lebih tepat dididik langsung di medan laga. Jadikan mereka prajurit pelacak, penyergap, atau pasukan komando kecil. Tempatkan mereka di medan laga yang paling berbau mesiu. Tunjuk dan tugasi mereka mendatangi lokasi musuh, kalau perlu mereka sanggup menatap mata musuh-musuhnya sambil mengayukan kukri ke lambungnya. Pertempuran jarak dekat satu lawan satu adalah spesialisasi prajurit Gurkha. Tapi mereka juga terkenal mahir menggunakan senapan panjang yang bisa dikendalikan bidikannya. Perlengkapan prajurit Gurkha memang amat sederhana. Cukup sebuah senapan panjang, sebuah bayonet, dan sebilah pisau kukri. Tidak perlu senjata canggih dan berat lainnya.

Membiayai prajurit Gurkha juga amat mudah bin gampang. Mereka tak pemilih dan memakan segala makanan, kecuali daging sapi. Suhu udara sepanas gurun atau sebeku kutub bukan alangan bagi prajurit Gurkha untuk beraksi. Orang-orang dari kaki Pegunungan Himalaya ini memang sudah terbiasa hidup di segala cuaca. Barangkali karena itulah pemerintah Singapura hingga saat ini masih tetap mempertahankan resimen Gurkha dalam jaringan keamanan negaranya. Bahkan pernah santer diberitakan, Papua Nugini pun berniat memanfaatkan kebolehan para prajurit Gurkha untuk menjaga keamanan negaranya. (Intisari)