Find Us On Social Media :

Perang Itu Nafkahnya (1)

By Agus Surono, Selasa, 30 Oktober 2012 | 18:36 WIB

Perang Itu Nafkahnya (1)

Intisari-Online.com - Dalam sejarah militer, orang Gurkha adalah legenda. Dalam kisah peperangan, Gurkha adalah sosok prajurit yang menakutkan dan dianggap "mesin "perang infanteri. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, Gurkha sesungguhnya juga manusia biasa. Kisah legendaris prajurit Gurkha inilah yang diuraikan Christopher Chant dalam buku Gurkha: The Illusrated History of an Elite Fighting Force (1985).

Gurkha adalah nama yang bisa bikin ciut nyali musuh di medan pertempuran mana pun. Lahir di masa pendudukan Inggris, para prajurit dari Kerajaan Nepal ini justru bergabung dengan penjajahnya, dan menciptakan hubungan amat unik sepanjang sejarah militer di dunia.

Gurkha sebenarnya adalah "pelesetan" lafal Inggris untuk menyebut nama sebuah kota kecil di wilayah barat laut Nepal, Goorkha, sekitar 70 km dari Kathmandu - ibu kota Nepal. Kota kecil itu dihuni oleh beberapa suku bangsa Nepal, yang terbesar adalah Gurung, Magar, Limbu, dan Rai. Gurung dan Magar disebut juga parbatiya di barat Nepal, sedangkan Limbu dan Rai dinamakan kiranti dari belahan timur Nepal. Keempat suku bangsa yang memakai marganya itulah yang sesungguhnya berhak disebut Gurkha. Meski mereka sendiri lebih suka menyebut dirinya sesuai nama suku bangsanya.

Tapi bagi orang Inggris dan bangsa-bangsa lainnya, nama Gurkha lantas identik dengan sosok prajurit Nepal. Inggris tak mau pusing soal parbatiya atau kiranti. Pokoknya, setiap pendaftar prajurit asal Nepal dinamakan Gurkha. Inggris tidak peduli, meski mungkin saja calon prajurit itu berasal dari suku bangsa Newar, Sikkim, atau bahkan keturunan Tibet. Secara fisik - mereka berciri Mongoloid - baik orang Gurkha maupun suku bangsa Nepal lain atau keturunan Tibet, memang susah dibedakan. Maka, semua prajurit Nepal, dari mana pun asalnya, sah saja disebut prajurit Gurkha.

Semua orang Nepal itu kebetulan menghuni tanah yang beraneka bentuk. Mulai dataran rendah yang penuh malaria, hingga bukit dan pegunungan bersalju abadi. Nepal seluas 520 x 100 mil baru terbuka bagi dunia luar sejak awal tahun 1950-an. Sebagian daerah kecil masih terkucil dari kemajuan sarana transportasi modern, makanya beberapa suku bangsa Nepal betul-betul harus hidup dari sepasang kaki dan bahu. Mereka harus berjalan naik-turun ratusan kilometer, sambil menggendong doko (keranjang pundak) yang memuat segala benda. Alam dan suhu yang keras bukan alangan. Jarak tempuh yang panjang dan berat tak lagi menjadi hambatan.

Sampai tahun 1984, di dunia ini tercatat ada 11 infanteri Gurkha, terpilah menjadi dua unit: Inggris dan India. Bagi India nama Gurkha semakin populer, mungkin karena nama itu dalam bahasa India punya arti pelindung sapi (gor = sapi, rakh = pelindung). Kebetulan pula orang Gurkha memang beragama Hindu (bersinkretisme dengan Buddha), agama yang memandang sapi sebagai hewan suci.

Keinginannya hanya berperang

Rata-rata potongan orang Gurkha tidak tinggi. Tubuhnya gempal dengan batok kepala bundar. Matanya cokelat dengan tampang Mongoloid yang tidak berbulu. Mereka suka tersenyum ramah dan malas-malasan membuka mulut di saat berbicara; kalaupun berkata-kata, suaranya lirih dan mirip orang membaca mantera. Mereka lebih suka memainkan kernyit dahi daripada menunjuk, namun mereka akan menatap lawan bicaranya dengan tajam dan penuh curiga – terutama kalau masih ragu-ragu dan belum kenal betul.

"Tentara kecil itu amat menyusahkan kami di Myanmar (Birma)," ujar seorang bekas perwira Jepang. "Mungkin orang Gurkha diciptakan menjadi serdadu infanteri yang tidak kenal lelah, apalagi takut. Tanpa mereka, rasanya mustahil tentara Inggris ditakuti lawan perangnya," ujar seorang perwira Inggris. "Orang gunung dari Himalaya itu menganggap medan perang adalah panggung paling tepat untuk berperan. Mereka menghargai dan sekaligus menikmati medan laga maut itu," tulis seorang prajurit Australia.

Di saat pertempuran mulai berkecamuk, sosok orang Gurkha mulai nampak jelas. Mereka begitu sibuk bergerak maju dan mundur, hanya untuk mencari kesempatan terbaik untuk menembak, menikam, menyergap, atau bahkan mengeroyok lawan-lawannya. "Ayo, Gurkhali!" itulah pekik perangnya. Serentak dengan pekik itu, meluruklah serombongan tentara bertubuh pendek gempal yang terus merangsek lawan-lawannya. Pekik perang itu kira-kira berarti "kami, orang Gurkha, mendatangimu!" Rentetan peluru pun dimuntahkan dari laras senapan mereka. Bukan cuma itu, pucuk bayonet pun lincah menari dan menyambar nyawa lawan. Belum lagi popor senapan yang berbahaya. Ditambah dengan bacokan, sayatan, atau tikaman kukri - pisau tebas yang mirip lidah iblis itu - lengkaplah sudah sosok garang dan berani mati prajurit Gurkha di medan laga.

Tapi di saat pertempuran usai dan keadaan tenang, prajurit Gurkha kembali ke sosok manusia yang aneh, banyak diam, tidak banyak bicara, dan tidak banyak keinginan. Mungkin karena mereka cuma punya satu keinginan, berperang dan berperang.

Siap berperang di mana saja