Penulis
Intisari-Online.com -Industri pertahanan Rusia menghadapi ketidakpastian masa depan karena sanksi Barat.
Menurut South China Morning Post, sanksi AS dan NATO telah mencegah Moskow mengakses teknologi Barat dan sumber daya keuangan.
China yang menolak mengecam tindakan Rusia kini berlomba dengan negara lain untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Rusia di pasar senjata global.
Menurut Pieter Wezeman, seorang ahli di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), sanksi internasional yang ditujukan kepada Rusia dan kebutuhan untuk mengisi gudang senjata setelah sejumlah besar senjata dirusak telah menyebabkan situasi menjadi lebih sulit.
Menurut Oryx, sebuah blog yang dijalankan oleh analis militer, Rusia kehilangan hampir 2.900 kendaraan dan peralatan dalam perang.
Wezeman mengatakan sanksi akan menyebabkan kelangkaan sumber daya, tidak dapat diaksesnya teknologi dan komponen dapat membuat Rusia tidak dapat melakukan transaksi yang telah ditandatanganinya.
Hal itu membuat negara-negara mitranya skeptis tentang kemampuan Rusia untuk menjadi mitra dagang terpercaya mereka.
Melansir 2h.com.vn, Minggu (17/4/2022), nenurut data SIPRI, China merupakan eksportir senjata terbesar keempat dunia untuk periode 2017-2021.
Pakistan adalah pelanggan terbesar - menyumbang 47% dari ekspor senjata China selama periode itu, diikuti oleh Bangladesh, Thailand dan Myanmar.
Cheung Tai-ming, seorang profesor di Departemen Strategi dan Kebijakan Global, Universitas California (AS), mengatakan bahwa hubungan diplomatik dan ekonomi yang kuat telah memungkinkan produsen senjata China menjadi lebih kompetitif di negara-negara ini.
Dia mengatakan bahwa meskipun China memproduksi berbagai macam peralatan, China belum mengejar ketinggalan dengan AS, Eropa dan Rusia dalam kualitas senjata dan kemajuan teknologi meskipun ada upaya cepat untuk meningkatkan selama dekade terakhir.
“Area di mana China unggul adalah hal-hal seperti drone, rudal, peralatan yang lebih sederhana dan kurang canggih yang dapat digunakan dan mampu dibeli oleh negara-negara berkembang,” katanya.
Menurut Cheung, China telah keluar dari cangkangnya dan mulai memasuki pasar senjata global.
“Kekuatan utama China adalah biaya dan kurangnya komitmen politik, tetapi ini belum tentu menjadi faktor terpenting ketika militer mempertimbangkan untuk memperoleh senjata,” katanya.
"Intinya terletak pada kualitas, keandalan, dan tingkat teknologi."
Kesulitan Memperluas Pasar
GS Wezeman menekankan bahwa jika China bersedia menjual peralatannya yang lebih canggih, seperti jet FC-31 generasi kelima, mereka masih akan mengalami kesulitan untuk memperluas pasar.
Seperti Rusia, China "diblokir" di banyak area pasar senjata global karena Washington atau negara-negara Eropa dapat menekan pembeli potensial.
Secara khusus, AS telah menggunakan kekuatan lunaknya, mempengaruhi beberapa negara dan mencegah mereka membeli senjata Rusia.
Untuk pendekatan soft power, AS sering menawarkan alternatif. Indonesia membatalkan rencana untuk membeli jet tempur Su-35 pada bulan Desember dan malah memilih puluhan pesawat tempur F-15EX Amerika dan pesawat tempur Dassault Rafale Prancis.
Pada bulan Maret, AS juga mengumumkan akan menjual F-15 ke Mesir, yang mungkin mengindikasikan bahwa kesepakatan negara itu untuk membeli Su-35 dengan Rusia pada 2018 telah gagal.
Meskipun tidak ada konfirmasi resmi, banyak yang percaya bahwa pesanan untuk membeli senjata Rusia dibatalkan untuk menghindari menjadi sasaran sanksi AS.
(*)