Find Us On Social Media :

Mengaku Sudah Berada di Titik Terakhir Peperangan, Inilah Situasi Berbahaya di Mana Rusia Disebut Bisa Gunakan Senjata Mematikan Ini Tanpa Ketahuan

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 8 April 2022 | 15:08 WIB

Presiden Rusia Vladimir Putin

Intisari-Online.com - Bulan lalu, Rusia mengatakan akan “secara radikal mengurangi aktivitas militer” di sekitar utara Ukraina, termasuk di dekat Kyiv dan kota Chernihiv, saat pembicaraan damai mengalami kebuntuan.

Alexander Fomin, wakil menteri pertahanan Rusia, mengatakan isyarat itu adalah untuk "meningkatkan rasa saling percaya, menciptakan kondisi yang tepat untuk negosiasi kesepakatan damai dengan Ukraina".

Tapi ini terjadi setelah Kremlin mengatakan sedang bergerak untuk mengkonsolidasikan cengkeramannya di wilayah Donbas timur.

Sergei Shoigu, menteri pertahanan Rusia, mengatakan "tujuan utama" Rusia sekarang adalah "pembebasan" wilayah tersebut.

Tetapi kemampuan Moskow untuk merayap lebih jauh sepertinya tidak mungkin tanpa menggunakan senjata kimia, kata mantan kepala Unit Senjata Kimia Angkatan Darat Inggris.

Kolonel Hamish de Bretton-Gordon mengatakan sebagaimana diwartakan Express.co.uk, Jumat (8/4) bahwa pilihannya ada pada apakah Putin bersedia "mempertaruhkan semuanya" dan meluncurkan serangan tidak konvensional ke Ukraina Barat, atau memutuskan Donbas "memenuhi persyaratannya".

Dia memperingatkan:

“Saya berharap akan ada semacam perdamaian dan Rusia akan fokus di Timur."

"Tapi saya tidak bisa melihat mereka mengambil Kyiv, atau kota-kota besar lainnya ke barat, seperti Lviv, tanpa menggunakan jalan yang tidak teratur atau perang yang tidak biasa.”

Dengan perang yang tidak berjalan seperti yang dibayangkan Vladimir Putin, mantan kepala Unit Senjata Kimia Angkatan Darat Inggris membandingkan kinerja buruk pasukan konvensional Rusia dengan taktik perang di Suriah.

Mantan komandan pasukan senjata kimia NATO itu menyamakan perang di Ukraina dengan pengepungan Aleppo, yang menjadi salah satu pengepungan terpanjang dalam peperangan modern.

Berlangsung dari 2012 hingga 2016, perkiraan menempatkan korban tewas di lebih dari 31.000.