Find Us On Social Media :

Menikah Muda Bukan Cuma Soal Kemapanan Finasial, Tapi Juga Kematangan Psikologis

By Ade Sulaeman, Sabtu, 10 September 2016 | 09:30 WIB

Menikah Muda Bukan Cuma Soal Kemapanan Finasial, Tapi Juga Kematangan Psikologis

Sebab usia 18 - 23 tahun merupakan masa dewasa muda, yaitu masa di mana seseorang sedang melakukan trial and error (mencoba-coba) untuk menjalani kehidupan yang lebih mandiri.

Harapannya, setelah mencoba berbagai kemandirian di usia tersebut, seseorang sudah punya bekal diri dengan berbagai pengalaman hidup yang akan menjadi modal dasarnya dalam membangun rumah tangganya kelak, yaitu setelah usia 23 tahun.

Peluang konflik tak bergantung usia

Peluang konflik dalam keluarga, baik bagi pasangan yang menikah di usia sangat muda dan bagi pasangan yang menikah di usia lebih tua, sebenarnya akan sama saja.

Jadi, yang memunculkan konflik itu bukan usia menikahnya, tetapi bagaimana pasangan memandang pernikahannya tersebut. Hal terpenting ialah seberapa serius pasangan tersebut ingin menikah dan membangun rumah tangga, sehingga komitmen mereka terhadap pernikahannya menjadi baik.

Misalnya, pasangan yang menikah di usia 19 tahun, namun mereka memiliki komitmen yang baik untuk sama-sama membangun rumah tangganya, bisa jadi tidak rentan konflik. Ketimbang dengan pasangan yang menikah di usia 30 tahun, namun masing-masing masih memiliki keinginan yang kuat untuk mementingkan kebutuhan pribadi.

Hanya saja, di usia yang masih sangat muda biasanya seseorang masih memiliki banyak keinginan pribadi yang ingin dicapai untuk kepentingan diri sendiri, sebagai bentuk aktualisasi diri.

“Misalnya seseorang masih ingin mencapai jenjang pendidikan lebih tinggi lagi atau jenjang karier yang lebih baik. Nah, jika hal-hal tersebut tak bisa dikompromikan, tentu saja akan menimbulkan konflik dengan pasangannya,” jelas Dessy.

Siapkah pasangan usia muda menjadi orangtua?

Selama pasangan muda ini memang menikah atas dasar kemauan sendiri dengan penuh kesadaran, memiliki tujuan yang jelas dan baik, maka mereka bisa mempersiapkan diri untuk menjadi suami-istri maupun bapak-ibu bagi anak-anaknya.

Pasalnya, tidak ada institusi pendidikan formal yang mempelajari bagaimana menjadi seorang bapak atau ibu yang baik. Seseorang belajar menjadi ibu dengan cara menjalaninya sebagai ibu. Begitu pula menjadi bapak atau kepala rumah tangga.

Seseorang dapat belajar dari pengalamannya sendiri maupun dari orang lain, yaitu dari orangtua sendiri. Jadi, berapa pun usianya, menjadi orangtua adalah proses belajar yang akan terus berlangsung.

Yang paling penting dari sebuah pernikahan adalah komitmen dari masing-masing pasangan. Jika sudah mengambil keputusan, artinya akan ada 'tanggung jawab' yang nantinya akan mengikuti.

(Lusia Kus Anna, Bestari, Ayunda Pininta/kompas.com)