Penulis
Intisari-Online.com - Aspek yang paling sering disorot ketika ada pasangan yang akan menikah muda adalah kemapanan finansial. Padahal, sebenarnya ada faktor lain yang bisa dibilang jauh lebih penting, yaitu kematangan psikologis.
Alasan menikah dini pun tak semata-mata hanya karena kehamilan di luar nikah, tapi memang mereka menginginkannya. Keinginan kedua belah pihak, pria dan wanita. Keinginan untuk hidup bersama, membangun rumah tangga di usia muda tanpa paksaan.
Seperti Muhajir Iskandar yang memutuskan menikah saat berusia 20 tahun, setelah berpacaran selama setahun. Padahal, saat itu ia masih kuliah semester empat dan belum bekerja. Alih-alih ditentang keluarga, ia justru mendapatkan dukungan dari kedua keluarga. Ia pun semakin yakin menikahi kekasihnya yang saat itu berusia sama.
“Meski saat itu belum bekerja, saya yakin akan ada rezeki. Tapi, menikah muda memang enggak mudah. Di awal pernikahan banyak sekali konflik yang sepertinya enggak ada ujungnya. Menyelesaikan masalah selalu butuh waktu lama. Tapi, seiring berjalannya waktu, kami lebih bisa saling mengerti dan mengalah,” ujar Muhajir.
Senada dengan Muhajir, Olie juga memutuskan menikah muda karena keinginan sendiri. Setelah pacaran tiga tahun, Olie menikah di usia 19 tahun. Sedangkan sang suami saat itu berusia 21 tahun dan baru mulai berkarier.
Ia pun mengakui, awal pernikahan tidaklah mudah. Adaptasi dengan lingkungan pasangan dan menurunkan ego adalah tantangan terberat.
“Karena ikut suami merantau, jadi adaptasinya cukup sulit. Saya jauh dari orangtua. Masalah finansial juga jadi tantangan. Belum lagi melihat teman-teman yang saat itu masih asyik main-main dan mulai melangkah ke dunia kerja, rasanya sedih. Tapi, karena setelah menikah langsung hamil, jadi pikiran teralihkan.”
Bila mengacu pada UU Republik Indonesia No.1 tahun 1974, seorang pria diizinkan menikah pada usia 19 tahun, sedang perempuan pada usia 16 tahun. Walau demikian, pernikahan di usia kurang dari 19 tahun bukan tak mungkin terjadi.
Selain menimbulkan kontroversi seputar kesehatan reproduksi seperti peningkatan risiko penyakit seksual atau kekerasan seksual, banyak juga yang beranggapan bahwa mereka yang menikah di usia muda belum siap menghadapi konflik dalam rumah tangga, dan hal ini akan berefek pada psikologisnya.
Menurut psikolog Dessy Ilsanty, M.Psi, memang tidak ada acuan baku tentang usia di mana seseorang dianggap paling siap secara psikologis untuk menikah.
“Kematangan psikologis memang berkembang seiring dengan bertambahnya usia, namun seperti apa dan seberapa cepat perkembangannya, itulah yang tidak bisa dipastikan karena tergantung banyak faktor.”
Jika bicara usia ideal menikah dan mengacu pada pandangan beberapa ahli, lanjut Dessy, seseorang bisa dikatakan siap untuk berumah tangga setelah melewati usia 23 tahun.
Sebab usia 18 - 23 tahun merupakan masa dewasa muda, yaitu masa di mana seseorang sedang melakukan trial and error (mencoba-coba) untuk menjalani kehidupan yang lebih mandiri.
Harapannya, setelah mencoba berbagai kemandirian di usia tersebut, seseorang sudah punya bekal diri dengan berbagai pengalaman hidup yang akan menjadi modal dasarnya dalam membangun rumah tangganya kelak, yaitu setelah usia 23 tahun.
Peluang konflik tak bergantung usia
Peluang konflik dalam keluarga, baik bagi pasangan yang menikah di usia sangat muda dan bagi pasangan yang menikah di usia lebih tua, sebenarnya akan sama saja.
Jadi, yang memunculkan konflik itu bukan usia menikahnya, tetapi bagaimana pasangan memandang pernikahannya tersebut. Hal terpenting ialah seberapa serius pasangan tersebut ingin menikah dan membangun rumah tangga, sehingga komitmen mereka terhadap pernikahannya menjadi baik.
Misalnya, pasangan yang menikah di usia 19 tahun, namun mereka memiliki komitmen yang baik untuk sama-sama membangun rumah tangganya, bisa jadi tidak rentan konflik. Ketimbang dengan pasangan yang menikah di usia 30 tahun, namun masing-masing masih memiliki keinginan yang kuat untuk mementingkan kebutuhan pribadi.
Hanya saja, di usia yang masih sangat muda biasanya seseorang masih memiliki banyak keinginan pribadi yang ingin dicapai untuk kepentingan diri sendiri, sebagai bentuk aktualisasi diri.
“Misalnya seseorang masih ingin mencapai jenjang pendidikan lebih tinggi lagi atau jenjang karier yang lebih baik. Nah, jika hal-hal tersebut tak bisa dikompromikan, tentu saja akan menimbulkan konflik dengan pasangannya,” jelas Dessy.
Siapkah pasangan usia muda menjadi orangtua?
Selama pasangan muda ini memang menikah atas dasar kemauan sendiri dengan penuh kesadaran, memiliki tujuan yang jelas dan baik, maka mereka bisa mempersiapkan diri untuk menjadi suami-istri maupun bapak-ibu bagi anak-anaknya.
Pasalnya, tidak ada institusi pendidikan formal yang mempelajari bagaimana menjadi seorang bapak atau ibu yang baik. Seseorang belajar menjadi ibu dengan cara menjalaninya sebagai ibu. Begitu pula menjadi bapak atau kepala rumah tangga.
Seseorang dapat belajar dari pengalamannya sendiri maupun dari orang lain, yaitu dari orangtua sendiri. Jadi, berapa pun usianya, menjadi orangtua adalah proses belajar yang akan terus berlangsung.
Yang paling penting dari sebuah pernikahan adalah komitmen dari masing-masing pasangan. Jika sudah mengambil keputusan, artinya akan ada 'tanggung jawab' yang nantinya akan mengikuti.
(Lusia Kus Anna, Bestari, Ayunda Pininta/kompas.com)