Find Us On Social Media :

Jane Goodall: Simpatinya pada Simpanse (1)

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 8 September 2016 | 18:15 WIB

Jane Goodall: Simpatinya pada Simpanse (1)

Di penghujung ekspedisi itulah, pelan-pelan Dr. Leakey mulai ngobrol soal kehidupan simpanse di Danau Tanganyika, khususnya kelompok simpanse yang berbulu panjang, Pantroglodytes schweinfurthi. Leakey berminat meneliti kehidupan simpanse yang berhabitat di tepi danau karena fosil manusia purba sering kali ditemukan di tepi danau. Kalau rahasia perilaku mereka  dapat dikuakkan, siapa tahu diperoleh pemahaman lebih dalam mengenai kehidupan manusia purba. Strategi Leakey didukung oleh hasil penelitian bahwa secara fisiologi dan biologi simpanse amat mirip dengan manusia.

Selama ini, tutur Leakey kepada Jane, kera itu baru diteliti Prof. Henry W. Nissen selama 2,5 bulan. "Yayasan saya membutuhkan wanita peneliti karena wanita lebih sabar dan mungkin kurang merupakan ancaman bagi simpanse jantan yang masih liar," kata Leakey. Di samping itu, wanita yang bukan ilmuwan diharapkan belum memiliki bias dan pembatasan-pembatasan dalam pengamatannya.

David dan Goliath

Di tahun 1960, Jane Goodall, yang nihil pengalaman dan tak berbekal ilmu pengetahuan khusus, menerima tawaran itu (Leakey kemudian juga membiayai Dian Fossey meneliti gorila di Rwanda serta Birute Galdikas yang meneliti orangutan di Tanjungputing, Kalimantan Tengah). Jane membangun pos penelitiannya di tepian Sungai Gombe. Atas desakan pemerintah setempat di Kigoma, Jane harus ditemani Vanne Goodall, ibunya.

Baru sekitar tiga bulan setelah mereka terjun di Gombe, setelah Jane dan Vanne sama-sama ambruk karena malaria, Jane berhasil memperoleh kesempatan mengobservasi simpanse secara berarti. Hari itu, seperti biasa Jane berangkat subuh-subuh, ketika udara masih sejuk. La mendaki bukit yang berada pas di atas perkemahan mereka. Dengan bersusah-payah, karena kondisi fisik yang belum kuat, akhirnya ia berhasil mencapai ruang terbuka di ketinggian 300 m kaki dari permukaan danau. Duduk sambil beristirahat, ia mengeluarkan teropong untuk   melihat tanda-tanda kehadiran simpanse. Setelah sekitar 15 menit, tampak ada tiga ekor simpanse berdiri memandang dia di kawasan botak bekas kebakaran tak lebih dari 60 m jauhnya dari tempat ia duduk. Mereka pergi menghilang, tanpa ketakutan. Belakangan ketika matahari lebih tinggi, ada dua rombongan simpanse lagi yang datang ke kawasan dekat situ untuk makan buah pohon fig yang memang sedang berbuah lebat. Mereka pun tak kabur ketakutan meski melihat Jane, seperti yang sudah-sudah, ketika Jane masih ditemani seorang atau dua orang pria.

Dalam usaha membuat dirinya diterima oleh mereka, Jane selalu mengenakan setelan baju dan celana pendek berwarna khaki. Untuk tidak membuat mereka takut, Jane berusaha diam tak  bergerak, meski sedang diamat-amati oleh simpanse tertentu dari jarak dekat. Sudah tentu ini membutuhkan ketabahan tersendiri, karena menyusul periode "kabur", selama sekitar lima bulan berikutnya, para simpanse memasuki periode agresif terhadapnya.

Bahkan ia pernah dihantam dengan cabang pohon oleh seekor simpanse besar-yang kemudian dia panggil dengan nama Goliath. Jane berhasil menahan dorongan untuk lari, meski mengaku lututnya sampai gemetaran karena ketakutan.

Namun sahabat pertama Jane tak lain adalah David Graybeard, simpanse pertama yang "bertamu" ke tenda Jane, untuk makan buah pohon kelapa yang tumbuh di dekat tendanya. Ia bahkan dengan santainya melongok ke dalam kemah! Dengan David yang digambarkannya. Berperilaku lembut ini Jane sering bepergian bersama. David di depan, Jane terengah-engah di belakang mengikutinya. Ada saat-saat tertentu Jane yakin, David sengaja menantinya. Belakangan Goliath yang ternyata "kepala suku" itu bergabung dengan David untuk makan pisang yang disediakan di depan tenda.

"Di tahun 1960, seharusnya tak seekor pun simpanse saya beri nama," kata Jane."Saat itu simpanse dianggap tak memiliki kepribadian, juga pikiran. Mereka cuma hidup liar dengan naluri alam."

- bersambung -