Penulis
Intisari-Online.com - Kerajaan Medang merupakan salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Nusantara.
Kerajaan ini juga dikenal dengan nama Kerajaan Medang Kamulan.
Terletak di Jawa Timur, Kerajaan Medang merupakan lanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah.
Banyak peninggalan Kerajaan Medang Kamulan yang menjadi saksi sejarah berdirinya kerajaan Hindu ini, seperti Prasasti Mpu Sindok dan Prasasti Bangli.
Mpu Sindok adalah raja pertama Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur atau Kerajaan Medang ini.
Ada perbedaan pendapat mengenai asal-usul Mpu Sindok, tapi yang pasti Mpu dialah sosok yang memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur pada 929 M.
Mpu Sindok juga mendirikan dinasti baru, yaitu Wangsa Isyana atau Isana. Istilah Wangsa Isyana dapat dijumpai dalam Prasasti Pucangan yang dikeluarkan Raja Airlangga pada 1041 M.
Setelah naik takhta pada 929 M, ia bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa dan berkuasa hingga 947 M.
Sementara mengenai perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno, juga terdapat beberapa alasan yang diperkirakan menjadi penyebabnya.
Salah satunya adalah karena faktor bencana alam, yaitu meletusnya Gunung Merapi.
Melansir Kompas.com, berdasarkan catatan para vulkanolog, letusan-letusan besar Gunung Merapi pernah terjadi antara tahun 800 dan 1.300 Masehi yang merobohkan sebagian puncak Merapi.
Letusan-letusan dahsyat Merapi pada periode itu diyakini telah memaksa Kerajaan Mataram Kuno yang sebelumnya berpusat di Jawa Tengah-DI Yogyakarta pindah ke Jawa Timur.
Reinout Willem van Bemmelen, ahli geologi Belanda, menyebutkan angka tahun 1006 sebagai tahun letusan besar Merapi yang mendorong perpindahan pusat Kerajaan Mataram Hindu.
Bahkan, ia mengajukan hipotesis bahwa letusan itulah yang mengubur Candi Borobudur yang berjarak 30 kilometer di barat Merapi.
Belakangan angka tahun 1006 ditolak banyak ahli karena tidak didukung bukti-bukti otentik, terutama prasasti sejarah yang menyebutkan perpindahan Mataram ke Jawa Timur terjadi pada tahun 928 Masehi.
Namun, melalui penelitian stratigrafi di berbagai lokasi candi yang tersebar di Yogyakarta dan Jawa Tengah, para peneliti Merapi sepakat erupsi gunung tersebut dalam waktu lama menekan kehidupan warga Mataram Kuno.
Senior Research Fellow Earth Observatory of Singapore di Nanyang Technological University, A Ratdomopurbo, mengatakan, dalam kurun 1.000 tahun sebagaimana dalam berbagai dokumen, Merapi tercatat beberapa kali meletus eksplosif.
Tren letusan eksplosif juga berlanjut pada masa modern. Journal of Volcanology and Geothermal Research yang mengupas khusus soal Merapi (2000) melaporkan, selama masa kolonial Belanda, tercatat setidaknya terjadi enam letusan besar Merapi, yaitu pada 1587, 1672, 1768, 1822, dan 1872.
Letusan pada 1822 termasuk yang besar dengan jangkauan awan panas mencapai kawasan sejauh 10-15 kilometer, merata di Kali Blongkeng, Senowo, Apu, Trising, Gendol, dan Woro, termasuk wilayah yang sekarang menjadi Lapangan Golf Cangkringan.
Sementara ltusan yang terjadi pada kurun 1984, 1992, dan 1994 relatif kecil dengan jarak jangkau luncuran awan panas kurang dari 8 kilometer. Namun, tetap saja, letusan pada 1994 mengakibatkan jatuhnya korban.
Pada Juni 2006, letusan awan panas sejauh 7 kilometer ke arah Kali Gendol mengakibatkan warga Kali Adem panik dan mengungsi. Dua orang tewas terkena awan panas.
Kemudian, pada Oktober-November 2010, letusannya menyebabkan 151 orang meninggal dunia. Angka pengungsi mencapai 320.090 jiwa, 291 rumah rusak, dan satu tanggul di Desa Ngepos jebol akibat luapan lahar dingin.
Pada 11 Mei 2018 Merapi meletus pada pukul 07.32 WIB dengan tipe freatik. Status dinyatakan level 1 atau normal.
Hingga saat ini, Gunung Merapi masih menjadi salah satu gunung teraktif di Indonesia, bahkan di dunia.
(*)