Penulis
Intisari-Online.com – Tanggal 10 November setiap tahun diperingati oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pahlawan, yang tahun 2021 ini jatuh pada hari Rabu.
Meski bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, rupanya rongrongan penjajah yang ingin menguasai Indonesia masih saja ‘penasaran’.
Ya, mereka ‘penasaran’ apakah bangsa Indonesia, meski sudah menyatakan diri mereka, masih bisa dikuasai kembali oleh bangsa asing.
Puncaknya inilah yang terjadi pada tanggal 10 November 1945, pertempuran pertama antara pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya itu, pertempuran ini dianggap terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Tak salah, bila usai pertempuran tersebut, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia pun semakin kuat.
Lalu, apa yang menjadi penyebab pertempuran 10 November 1945 di Surabaya?
Pasukan Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II setelah mengalahkan Jepang dengan menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, mendarat pada akhir Oktober 1945 di Surabaya.
Ketika itu Surabaya digambarkan sebagai ‘benteng bersatu yang kuat di bawah Pemuda’.
Tentara Inggris yang datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Alllied Forces Netherlands East Indies) atas nama Sekutu, bertugas untuk melucuti tentara Jepang.
Namun, mereka rupanya juga membawa misi untuk mengembalikan Indonesia kepad administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.
Maka inilah yang memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan gerakan perlawanan rakyat Indonesia melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan maklumat tertanggal 31 Agustus 1945, yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Surabaya.
Namun, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan M.W.Ch. Ploegman pada malam tanggal 18 September 1945, pukul 21.00 WIB, mengibarkan bendera Belanda (merah-putih-biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI daerah Surabaya, di tiang teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
Tentu saja, para pemuda Surabaya yang melihat keesokan harinya, menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Massa pun berkumpul di Hotel Yamato, yang membuat Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakitl Residen yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono.
Mereka datang sebagai perwakilan RI untuk berunding dengan Ploegman dan kawan-kawannya, meminta mereka menurunkan bendera Belanda dari gedung Hotel Yamato.
Namun, Ploegman menolak, yang membuat perundingan memanas dan Ploegman mengeluarkan pistol sehingga terjadi perkelahian, yang berakhir Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga.
Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato, sedang sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden itu, kemudian meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris pada tanggal 27 Oktober 1945, serangan kecil yang kemudian menjadi serangan umum yang memakan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Jenderal DC Hawthorn pun meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi, dan ditandatanganilah perjanjian gencatan senjata antara pihak Indonesia dan tentara Inggris pada tanggal 29 Oktober 1945.
Bentrokan bersenjata tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, yang memimpin tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada tanggal 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.
Mengutip wikipedia, mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia akan melewati Jembatan Merah, yang terjadi kesalahpahaman sehingga terjadi tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Mallaby.
Disebutkan bahwa Mallaby tewas oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia, yang tidak diketahui identitasnya, dan mobil yang ditumpanginya terbakar terkena ledakan granat, yang menyebabkan mayat Mallaby sulit dikenali.
Tentu saja, tewasnya Mallaby membuat pihak Inggris marah kepada Indonesia dan bearkibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, yang kemudian mengeluarkan ultimatum 10 November 1945.
Dalam ultimatum tersebut dia meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Ultimatum disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris membuat rakyat Surabaya sangat marah.
Dalam ultimatum tersebut menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas, sebelum pukul 06.00 tanggal 10 November 1945.
Sayangnya, rakyat Surabaya tidak menghiraukan ultimatum tersebut bahkan menolaknya, karena pihak Indonesia merasa bahwa RI sudah berdiri dan TKR pun telah dibentuk sebagai pasukan negara.
Pada tanggal 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan, yang mendapat perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.
Bung Tomo, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia, maju dan mengobarkan semangat juang para pemuda Indonesia agar terus berjuang untuk membela kedaulatan Indonesia.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, semakin hari semakin teratur.
Sekitar tiga minggu pertempuran berlangsung dengan sengit, hingga menewaskan para pejuang dari pihak Indonesia 6.000 hingga 16.000 jiwa, dan 200.000 rakyat Sipil mengungsi dari Surabaya.
Sementara korban dari pasukan Inggris dan India sekitar 2.000 tentara.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban inilah yang menjadikan tanggal 10 November kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari