Yogya Bangkit, Fotografi Wayang dan Kreativitas Batik Jadi Pemantik

Hery Prasetyo

Penulis

Satriatama, salah satu karya fotografi wayang Risman Marah yang dipamerkan di Rumaket, Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, 25-27 September 2021.

Intisari-Online.com - Pandemi Covid-19 melemahkan gerak kebudayaan, namun Yogyakarta tak mau kalah dan mencoba bangkit lewat Rumaket.

Dari bahasa Jawa, rumaket secara leterlek bermakna dekat, akrab, mesra bak saudara.

Kata penuh filosofi itu digunakan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta sebagai tema untuk memantik atau merangsang gerak kebudayaan agar lebih dinamis dan bangkit.

Diambillah kata Rumaket sebagai akronim dari Ruang Masyarakat Ketemu.

Rumaket diharapkan menjadi wadah atau media bagi masyarakat dan pelaku seni budaya untuk bertemu, saling bersosialisasi, berkolaborasi, dan bersinergi dalam pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya khususnya warisan budaya tak benda.

Maka, untuk pertama kalinya, digelarlah pameran fotografi wayang dan batik di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, pada 25-27 September 2021 dengan tema "Rumaket".

“Diharapkan pada perayaan warisan budaya tak benda kali ini dapat menjadi sebuah strategi untuk mengajak kepada seluruh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan agar dapat bekerjasama dan bersinergi mengembangkan kebudayaan Kota Yogyakarta” jelas Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti.

Ia menambahkan, dengan stimulus ini diharapkan gerak seni dan kebudayaan di Yogyakarta akan semakin kuat dan dinamis, sehingga pada akhirnya mampu membawa kebangkitan dan kemajuan dalam berbagai bidang.

Pameran ini menampilkan 3 fotografer senior, yakni Risman Marah, Johnny Hendarta, dan Fauzie Helmy yang mengeksplorasi wayang dalam kreativitas fotografi.

Wayang yang menjadi warisan karya budaya masa lalu, dipersepsikan secara filosofis dan kreatif oleh ketiga fotografer itu menjadi visual yang inspiratif dan memantik imajinasi dan dinamisasi kebudayaan.

Tak hanya pameran fotografi wayang, sesuai semangat Rumaket, pameran ini juga berkolaborasi dengan koreografer, designer, dan dalang.

Sehingga, event ini menjadi pentas multidimensi yang menarik, pun menjadi perangsang di tengah pandemi Covid-19 yang sempat meredupkan semua aktivitas kebudayaan.

Martinus Miroto, misalnya, menampilkan lakon "Gorda". Ia memadukan seni tari, fesyen, dan animasi dalam karya digital yang apik.

Selain itu ada juga pentas wayang kancil oleh dalang Triyanto Hapsoro.

Pada penutupan, Senin (27/9/2021), juga ditampilkan fashion show karya designer Dadang Kusdarto, Vitalia Pamoengkas, Rheo Ridzky. Dian Nutri J Shirokadt, Sugeng Waskita, Rony Billiardo. Sebelumnya juga ada talk show dengan designer Nita Azhar.

Energi Masa Depan

Warisan kebudayaan bukan sekadar ornamen masa lalu, tapi menjadi energi masa depan.

Demikianlah 3 fotografer senior, Risman Marah, Johnny Hendarta, dan Fauzie Helmy memandang wayang yang menjadi obyek fotografi mereka.

Maka, mereka mencoba mengekspresikan menampilkan wayang lebih dinamis.

Wayang tak harus di depan layar, tapi juga bisa beraksi dengan latar belakang berbagai tempat atau heritage.

Sehingga, foto-foto karya mereka menampilkan wayang menjadi lebih kekinian, dinamis, bahkan memberi inspirasi.

"Semula saya merasa ini akan sulit, tapi ternyata mengeksplorasi wayang dalam semangat kebudayaan sangat menarik," kata Johnny Hendarta.

"Misalkan, jika kita melihat Jembatan Kewek seperti sedia kala, akan terasa seperti biasa. Tapi ketika kita gabung dengan wayang, menjadi membangkitkan imajinasi dan melahirkan nuansa berbeda," tambahnya.

Risman Marah yang asli Padang, juga merasa tertantang mengeksplorasi wayang dalam fotografi.

Lama tinggal di Yogyakarta, ia mengaku semakin mengerti dan mencintai wayang.

"Tak terbantahkan, wayang merupakan warisan budaya yang adiluhung. Semua aspek seni terkandung di dalamnya, baik seni suara, lukis, tatah, tari, teater dan sebagainya."

"Apalagi, di dalamnya terkandung filosifi tinggi. Sehingga, wayang akan semakin memberi inspirasi kebudayaan dan kreativitas," jelasnya.

Sementara Fauzie Helmy mengatakan, sejak UNESCO menetapkan wayang sebagai masterpiece warisan budaya dunia pada 2003, ia berharap wayang terus lestari dan menginspirasi dengan berbagai bentuk dan dinamisasinya.

Sehingga, mulai 2013, ia suka memotret wayang, bahkan memamerkannya di berbagai negara, diawali di Koppenhagen, Denmark.

"Karena sebagai masterpiece warisan budaya, wayang harus terus hidup dan menghidupkan. Sehingga, anak-anak muda pun seharisnya tetap peduli dan mempelajarinya, kemudian menjadikannya sebagai inpsirasi untuk berkarya," jelasnya.

"Wayang tak harus dipertunjukkan dalam sebuah pagelaran, tapi juga bisa dikemas dalam berbagai media. Selain fotografi, juga bisa diekspresikan dalam bentuk karya yang lain. Sehingga, wayang akan semakin dinamis, lestari dan menginspirasi," tambahnya.

Untuk lebih dinamis dan akurat, ketiga fotografer ini bekerja sama dengan 3 dalang muda dalam mengeksplorasi wayang.

Mereka adalah Faisal Noor Singgih, Fani Rickyansyah, dan Bayu AJi Nugraha.

Walikota Yogyakarta, H Haryadi Suyuti mengatakan, Rumaket sebagai strategi komunikasi Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menciptakan nilai, meningkatkan daya saing, dan memberikan efek yang baik bagi pengakuan dunia terhadap upaya pelestarian batik dan wayang.

"Melalui ini diharapkan memberikan energi positif bagi pelaku seni dan budaya serta masyarakat untuk men jaga kelestarian warisan budaya," jelasnya.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota, Yetti Martanti menambahkan, Ruaket diharapkan merangsang dinamika seni dan budaya agar semakin maju dan menjadi energi kebangkitan dan daya saing kebudayaan serta kehidupan.

"Ini sebagai pemantik dan diharapkan rangsangan ini berefek dan meluas. Tentu akan diikuti berbagai kegiatan lanjutan dan diharapkan setiap tahun Rumaket akan terus digelar, katanya.

Artikel Terkait