Penulis
Intisari-Online.com – Rupanya negara di Asia yang satu ini sudah memiliki reputasi sebagai ‘raja vaksin dunia’.
Namun, akhirnya tercoreng akibat munculnya kelangkaan vaksin Covid-19, padahal nasib vaksinasi di negara-negara berkembang bergantung pada kapasitas produksi vaksin di negara ‘raja vaksin dunia’ ini.
Sebelum kasus infeksi Covid-19 melonjak drastis di negara ini, produksi vaksin masih memasok kebutuhan dosis vaksin Covid-19 untuk negara-negara berkembang, melalui program Covax yang diinisiasi oleh WHO.
Namun, ketika pandemi merebak di luar kendali akibat mutasi virus Covid-19 melalui gelombang kedua yang melanda negara ini, otoritas negara ini pun terpaksa membatasi ekspor vaksinnya.
Akibatnya, kelangkaan vaksin berlanjut, tidak hanya seantero negara ‘raja vaksin dunia’ ini, tetapi juga di beberapa negara berkembang yang sangat bergantung pada produksi vaksinnya.
Kini, mereka tengah mengejar ketertinggalan produksi vaksin Covid-nya, namun ini mungkin akan memunculkan kekhawatiran baru bahwa produksi vaksin untuk kebutuhan lain menjadi terganggu.
Serum Institute of India (SII), di negara India, merupakan produsen vaksin terbesar di dunia, yang setiap tahunnya mengekspor lebih dari 1,5 miliar dosis vaksin dengan harga terjangkau.
Berlokasi di kota Pune, India, perusahaan ini telah banyak memproduksi jenis vaksin untuk berbagai penyakit, seperti difteri, tetanus, pertusis, hepatitis B, campak, gondok, dan rubella.
Vaksin produksi SII telah digunakan oleh 170 negara, diperkirakan setidaknya 65 persen anak-anak di dunia menerima satu vaksin produksi perusahaan ini.
Melansir dari DW.com, SII bersama dengan produsen vaksin lain seperti Bharat Biotech, Panacea Biotec, Sanofi Shantha Biotechnics, Biological E, Hester Biosciences, dan Zydus Cadila, memiliki kapasitas untuk memproduksi sebanyak 8,2 miliar dosis vaksin yang berbeda-beda setiap tahunnya.
Tidak hanya vaksin tersebut di atas, SII juga mengembangkan vaksin meningitis murah yang didistribusikan ke seluruh Afrika.
Pada akhir tahun 2013, sebanyak 152 juta orang dilaporkan telah menerima vaksin tersebut, yang membantu memutus epidemi meningitis di 26 negara.
Kombinasi antara produksi vaksin dalam jumlah besar dengan biaya murah inilah yang menjadi nilai jual tersendiri bagi India.
Sadar bahwa dunia mungkin tidak bisa lagi bergantung pada India, melansir kompas.com, Indonesia sedang dalam perbincangan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta enam perusahaan obat untuk menjadi pusat vaksin global.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan (Menkes) Indonesia, merinci strategi ambisius tersebut dengan memprioritaskan pembelian vaksin Covid-19 dari perusahaan yang berbagi teknologi dan mendirikan fasilitas di Indonesia.
Menurut Budi, WHO telah menunjuk Afrika Selatan sebagai lokasi pertama, maka secara logis harusnya Indonesia menjadi yang kedua.
Strategi baru WHO untuk mendistribusikan produksi secara lebih luas dan global dengan melakukan ‘pusat transfer teknologi’.
Strategi ini juga dibuat untuk membangun kapasitas di negara-negara berkembang, dalam membuat vaksin generasi baru seperti suntikan mRNA berbasis asam nukleat Moderna dan Pfizer, yang bisa dengan cepat beradaptasi untuk menangani virus varian baru.
Menurut juru bicara WHO, Indonesia menjadi salah satu dari 25 negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang menyatakan minatnya untuk menjadi pusat vaksin global.
Sementara menurut Menkes, Indonesia berada di posisi yang tepat untuk mengekspor vaksin ke seluruh dunia.
Apalagi, Indonesia menjamin bahwa produksi vaksinnya halal atau diperbolehkan menurut hukum Islam, karena negara ini berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Namun, Indonesia masih memiliki upaya vaksinasi besar-besaran di masa depan, karena hanya 25 persen dari populasi targetnya (208 juta orang) yang diinokulasi penuh terhadap Covid-19, belum lagi kemungkinan harus memberikan vaksin booster ketiga.
Menurut Menkes, perusahaan farmasi Indonesia sedang berdiskusi dengan produsen dan pengembang vaksin Anhui, Walvax, Sinovac, Genexine, Arcturus Therapeutics, dan Novavax.
Peluang yang sama juga ditujukan kepada AstraZeneca, termasuk rekanan yang sudah ada, yaitu Pfizer.
Menurut Bambang Heriyanto, sekretaris perusahaan Bio Farma, perusahaan obat milik negara terbesar di Indonesia, perlu dua atau tiga tahun untuk membangun fasilitas produksi yang beroperasi penuh. (ktw)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari