Penulis
Intisari-online.com -Rosilawati Ismail, nelayan tepi pantai yang sudah bekerja 14 tahun, yakin berkurangnya stok ikan di laut adalah karena penangkapan ikan ilegal, tidak teratur dan tidak dilaporkan.
Terutama menurutnya, kapal-kapal asing yang memasuki perairan Malaysia.
Belum terlalu lama ini, nelayan Rosilawati Ismail dan suaminya bisa hidup layak dari laut, 18 kilometer jauhnya dari tepi Pantai Kempadang, Malaysia, yang menuju Laut China Selatan.
Namun karena penangkapan ikan ilegal, tidak teratur dan tidak dilaporkan (IUU), hanya dalam 5 tahun saja jumlah tangkapannya kini hanya separuh dari tangkapannya yang biasa.
"Dulu, kami bisa mendapat 200 kilogram ikan dalam sekali tangkapan. Kini kami kesulitan untuk mendapatkan 100 kilogram," ujar nelayan berumur 44 tahun itu dikutip dari Rappler.
Wartawan R.AGE di Malaysia, bekerja di investigasi kolaboratif Oceans Inc. dengan Environmental Reporting Collective (ERC) menemukan berbagai cerita terkait para nelayan yang kini menjerit kesulitan karena penangkapan ikan sistem IUU.
Otoritas Malaysia telah melaporkan hilangnya miliaran dolar dalam beberapa tahun terakhir karena penangkapan ikan model ini.
Tertangkap menggunakan bahan tak berkelanjutan bahkan praktik eksploitasi, ikan-ikan ini kemudian dijual ke pasar asing tanpa ada transparansi rantai suplai.
Sementara beberapa nelayan Malaysia menceritakan kisah di waktu yang lebih sederhana bisa terkadang bertemu nelayan dari negara tetangga di laut dan bertukar hasil tangkapan, saat ini hal itu juga sulit terjadi.
Hal ini karena ketegangan geopolitik antara negara-negara, ditambah dengan ketegangan atas batas maritim antar negara.
Sementara itu ada juga kisah Bahiyuddin, nelayan yang mulai memodernisasi kapal penangkapan ikannya.
Ia merupakan nelayan di laut yang dalam, sehingga ia memasang alat GPS di kapalnya, memastikan jika kapalnya tidak berlayar ke wilayah yang terlarang.
"Bahkan nelayan juga perlu mengikuti modernisasi dan menggunakan kecanggihan teknologi, sehingga kami punya alat GPS yang menunjukkan kepada kami di mana perbatasan kami, agar kami tidak masuk ke wilayah negara tetangga," ujarnya.
Masalahnya adalah, batas pasti antara perairan-perairan ini tidak pernah jelas.
Negara-negara di sekitar Laut China Selatan telah lama berdebat kusir mengenai ketegangan teritorial maritim, sampai bertahun-tahun lamanya.
China jadi sosok perundung paling kuat yang sampai menggunakan militernya untuk mengklaim wilayah besar perairan di dekat Asia Tenggara.
Hal inilah yang berakibat pada penangkapan ikan sistem IUU berkembang pesat.
"Empat atau lima tahun lalu, ada sekitar 10 kapal Malaysia ditahan oleh otoritas Indonesia," kenang Bahiyuddin.
"Indonesia mengatakan wilayah sekitar 10 mil laut dari perbatasan adalah milik mereka, sementara badan penegakan hukum kami mengatakan daerah itu masih milik kami.
"Sangat membingungkan bagi kami, sehingga kami memutuskan tidak ke tempat itu lagi agar selamat dan tidak kehilangan peralatan memancing kami," ujarnya.
Namun, tidak bisa memancing di wilayah itu membuat mereka rugi besar.
"Bayangkan saja betapa luasnya tempat itu! Perlu satu setengah jam bagi kami pergi ke tempat 10 mil laut jauhnya, bayangkan berapa banyak ikan dan tangkapan lainnya yang hilang dari kami," ujar Bahiyuddin.
Sayangnya, isu batas yang tumpang tindih itu tidak spesifik untuk Laut China Selatan.
Di selatan provinsi Johor, Malaysia, nelayan di Selat Malaka mengatakan ERC bahwa mereka ditangkap oleh otoritas Indonesia sementara mereka masih berada di perairan Malaysia.
"Perbatasan antara Malaysia dan Indonesia lebih sempit di Pontian sini, sehingga nelayan yang mengikuti jejak ikan terkadang masuk ke perairan Indonesia," ujar Jamaluddin Mohammad Bualik, nelayan berumur 52 tahun.
"Namun kali ini, saya yakin saya masih berada di dalam perairan kami ketika otoritas Indonesia menangkap saya. Saya ditarik lebih jauh ke perbatasan mereka dan diinterogasi. Beruntungnya saya dilepaskan tanpa terkena bahaya apapun."
Pejabat dari Badan Penegakan Hukum Maritim Malaysia mengkonfirmasi insiden ini kepada ERC.