Find Us On Social Media :

Kondisi Pandemi Tidak Berkesudahan, Masyarakat Bisa Alami Pandemic Fatigue

By Sheila Respati, Rabu, 11 Agustus 2021 | 13:09 WIB

Dialog Produktif Semangat Selasa digelar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN), Selasa (10/8/2021).

Intisari-Online.com – Pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan berisiko menimbulkan pandemic fatigue. Adapun pandemic fatigue merupakan kelelahan mental yang disebabkan oleh situasi pandemi. 

Psikiater sekaligus influencer dr Erickson Arthur Siahaan, Sp KJ Dialog Produktif Semangat Selasa yang disiarkan secara daring melalui Youtube FMB9_ID pada Selasa (10/8/2021) mengatakan, masyarakat dapat mencapai titik jenuh beradaptasi dengan kondisi pandemi. 

Pada masa pandemi, masyarakat diharuskan beradaptasi dengan situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan kebiasaan baru seperti protokol kesehatan. Belum lagi, ditambah mengalirnya disinformasi mengenai Covid-19 yang meresahkan, kabar dari anggota keluarga yang sakit, dan berita duka.

“Pada masa awal pandemi berlangsung ada reaksi kecemasan dan stres mengenai apa itu Covid-19. Setelah satu setengah tahun, pengetahuan masyarakat sudah terbentuk, tetapi masyarakat dapat jatuh pada kondisi kelelahan mental,” kata dr Erickson.

Tidak hanya itu, menurut dr Erickson, stres juga dapat timbul dari reaksi beragam terhadap pandemi Covid-19 di masyarakat.

Baca Juga: Gemar Nonton Film? Ini 4 Dampak Positifnya secara Emosional

Pada satu sisi, ada masyarakat yang patuh dan mencari tahu dengan seksama mengenai Covid-19 serta protokol kesehatan yang perlu diterapkan. Namun, di sisi lain, ada masyarakat yang menolak memahami pandemi Covid-19 dan protokol kesehatan.

Ketidakpercayaan akan adanya Covid-19 membuat anggota masyarakat tersebut abai dalam menerapkan protokol. Situasi bertentangan itu, tidak hanya membuat pandemi tidak kunjung selesai, tetapi juga membuat masyarakat stres. 

Untuk menjaga kesehatan mental, dr Erickson menyarankan setiap orang untuk mulai mengenali diri dan emosi yang tengah dirasakan.

“Dimulai dari diri sendiri sebelum kita berusaha untuk care terhadap orang lain. Kenali dulu karakter diri kita ini siapa? Apakah kita ini seorang yang pencemas, meluap-luap, atau menghindar. Kemudian, kelola stres,” katanya.

Menurut dr Erickson, proses mengenali diri sendiri menjadi hal yang paling utama karena setiap orang memiliki sumber (trigger) stres masing-masing. Dengan memahami diri sendiri, seseorang dapat mengidentifikasi trigger tersebut dan menyadari setiap emosi yang muncul. Setelah itu, cara mengelola stres dengan yang efektif dan sesuai dapat ditemukan.

Baca Juga: Stres Mengalahkan Kemampuan Memori

“Setiap orang punya sumber stres berbeda-beda. Dengan begitu, masing-masing orang akan punya cara pengelolaan yang juga berbeda-beda,” tambah dr Erickson.

Selain itu, ia juga menyampaikan pentingnya memberi jeda dalam mengonsumsi informasi terkait Covid-19. Ia menyarankan, masyarakat untuk mengonsumsi informasi mengenai Covid-19 pada saat-saat tertentu saja serta mengalokasikan waktu untuk diri sendiri atau “me time” dan menjaga komunikasi dengan teman-teman atau kerabat.

“Tetap pertahankan sosialisasi dengan orang lain. Pembatatasan kegiatan sosial tidak berarti komunikasi terputus. Bersosialisasi tetap dapat dilakukan tanpa tatap muka langsung. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi, yakni melalui panggilan telepon atau menggunakan aplikasi untuk berkomunikasi dengan orang lain,” katanya.

Terkait sosialisasi, Co-Founder Menjadi Manusia Rhaka Ghanisatria yang hadir juga sebagai narasumber dialog mengatakan, berkomunikasi dan berbagi cerita dapat mengurangi beban emosi.

Hal itu ia buktikan lewat platform digital Menjadi Manusia yang ia rintis. Platform tersebut menghadirkan media untuk menyalurkan kegelisahan dengan cara berbagi cerita.

Baca Juga: Lagi Booming di Masa Pandemi, Ini 10 Manfaat Bersepeda untuk Keshatan Mental, Salah Satunya Bikin Tidur Nyenyak

Rhaka mengatakan, selama menggawangi platform Menjadi Manusia ia sudah melihat bagaimana berbagi cerita dapat menjadi bentuk tolong-menolong.

“Ketika berbagi cerita, kita melepaskan beban yang kita punya dan bisa menjadi coping mechanism. Namun, cerita kita juga bisa menjadi inspirasi buat orang lain dan menyelamatkan mereka. Orang lain yang membaca cerita tersebut akan merasa terhubung, merasa dikuatkan karena sadar bahwa dia tidak sendirian,” katanya.

Jaga kesehatan mental juga perlu gotong royong

Dalam dialog tersebut, Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Covid-19 Sonny Harry B Harmadi memberikan pendapat terkait dampak pandemi terhadap kehidupan masyarakat. Menurutnya, pandemi memberi dampak yang banyak, mulai dari learning loss, kondisi ekonomi, sosial masyarakat, hingga kesehatan mental.

Untuk meringankan beban mental masyarakat, pemerintah berkolaborasi dengan Himpunan Psikolog Indonesia untuk membuka layanan bagi anggota masyarakat yang membutuhkan konsultasi.

Baca Juga: Remaja Hadapi Ancaman 'Bom Waktu' Masalah Kesehatan Mental Akibat Pandemi, Begini Penjelasan Ilmuwan

Namun, menurut Sony, mengatasi dampak pandemi pada kesehatan mental juga butuh gotong royong dari masyarakat.

“Upaya menghentikan hoaks yang meresahkan orang lain, membangun empati dan gotong-royong, serta menggemakan narasi dan pesan-pesan positif, juga bermanfaat untuk membangun ketenangan batin masyarakat,” imbuhnya.

Tak hanya itu, diperlukan partisipasi, kolaborasi, dan dukungan seluruh anggota masyarakat, supaya pandemi Covid-19 tidak semakin berlarut-larut. 

Menurut Sony, partisipasi masyarakat yang sudah sangat baik selama PPKM level 4 diberlakukan harus diteruskan. Ia mengatakan, PPKM level 4 telah berhasil menurunkan kasus aktif secara signifikan.

Selain itu, bed occupancy rate (BOR) juga turun siginifikan hingga 54 persen. Kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan pun terus meningkat.

“Pemerintah, termasuk Satgas Covid-19 tidak bisa menyelesaikan pandemi sendirian. Kami mengapresiasi anggota masyarakat yang memilih menjadi bagian dari solusi bukan masalah,” ujarnya.