Peristiwa Rengasdengklok, Golongan Pemuda Tak Mau Kemerdekaan Indonesia Jadi 'Hadiah Jepang,' Bung Karno: 'Kalau Tak Percaya, Gorok Leher Saya'

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Saat Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi usai peristiwa Rengasdengklok.

Intisari-Online.com -Detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 memang penuh dengan 'drama', termasuk peristiwa Rengasdengklok.

Ya, 'drama' muncul pada mereka yang sebenarnya sama-sama menginginkan Indonesia merdeka.

Saking tegangnya hari-hari menjelang kemerdekaan Indonesia, Bung Karno saat itu sampai berujar "kalau tak percaya, gorok saja leher saya."

Wah, bagaimana seorang Bung Karno sampai berteriak demikian?

Mari kita simak kisahnya yang diambil dari sudut pandang Sayuti Melik, sang pengetik naskah kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga:Klise Foto Proklamasi 17 Agustus yang Lalu, Dikubur Sebulan agar Tak Diambil Jepang

Wanita yang dalam fotolama tampak berdiri di sebelah kanan Ibu Fatmawati Soekarno tatkala Sang Saka Merah Putih dikibarkan untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Nyonya S.K. Trimurti. Doktoranda (eko-nomi) Sulastri Karma Trimurti.

la istri Sajuti Melik yang tulisan-tulisannya tentang Marhaenisme dan Soekamoisme banyak dibaca orang.

Beberapa hari sebelum peristiwa bersejarah tersebut, Sajuti Melik dan istrinya dipanggil ke Jakarta oleh Bung Karno. S.K. Trimurti termasuk murid Bung Karno angkatan pertama.

Dengan datang ke Jakarta, mereka kemudian menjadi salah satu saksi utama peristiwa bersejarah sekitar tanggal 17 Agustus 1945.

Baca Juga:Jangan Sampai Terlewat Nonton Detik-detik Proklamasi Hari Ini, Istana Jamin akan Ada Kejutan

Ketika mereka berdua tiba di Jakarta, Bung Karno baru terbang ke Saigon dengan Bung Hatta dan almarhum Dr. Rajiman Wedjodiningrat, untuk membicarakan soal kemerdekaan dengan Marsekal Terauchi, wakil panglima tertinggi bala tentara Jepang di Asia Tenggara.

Tanggal 14 Agustus ketiga utusan tersebut tiba kembali di lapangan udara Kemayoran.

Di depan orang banyak yang datang menyambut, Bung Karno berkata, "Kalau dahulu saya berkata, sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga."

Selama di Jakarta Pak Sajuti dan istri tinggal di rumah Bung Karno, di Jalan Pegangsaan Timur 56.

Baca Juga:Setelah Proklamasi, Bung Karno Harus Menyamar Menjadi Tukang Sayur dan Ibu Fatmawati Sebagai Tukang Pecel

Menurut penuturannya sendiri, dia bukan tokoh dalam kejadian-kejadian bersejarah.

la hadir sekadar sebagai pembantu pribadi Bung Karno, sedang Bu Trimurti, murid lama Bung Karno, bertindak sebagai sekretaris pribadi.

Tanggal 16 Agustus malam, sewaktu mereka sedang duduk-duduk di beranda rumah Pegangsaan Timur, datang dua pemuda, Wikana dan Subadio.

Pak Sajuti dapat mendengarkan percakapan mereka dari tempat duduknya.

Baca Juga:Diminta Bacakan Teks Proklamasi oleh Soekarno, Tan Malaka Malah Menolak dengan Jawaban yang Sangat 'Negarawan'

Kedua pemuda itu atas nama kawan-kawannya mendesak agar segera diadakan proklamasi kemerdekaan.

Bung Karno menjawab, beliau punya kawan, karena itu sebelum bertindak sesuatu perlu konsultasi lebih dulu dengan mereka.

"Kalau tak percaya gorok saja leher saya."

Kemudian datang tokoh-tokoh lain: Bung Hatta, Mr. Subardjo, Dr. Samsi, Mr. Iwa Kusumasumantri, Dr. Buntaran.

Baca Juga:Perjuangan Mendur Bersaudara Abadikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bohong Pada Jepang Hingga Manjat Pohon

Antara Soekarno-Hatta dan golongan Pemuda tidak ada perbedaan prinsip tentang kemerdekaan Indonesia, hanya berbeda dalam memilih cara.

"Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Di zaman Jepang, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap percaya kepada kekuatan kita sendiri."

Demikian amanat Bung Karno mendahului pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, menurut almarhum Prof. Mr. Moh.Yamin dalam bukunya "Dari Proklatnasi Sampai Resopim".

Ada perbedaan pendapat antara golongan Soekarno-Hatta dan golongan Pemuda pada masa itu tentang unsur Jepang.

Golongan Pemuda tak mau tahu Jepang.

Baca Juga:Bukan Cinta Indonesia, Alasan Sebenarnya Laksamana Muda Maeda Biarkan Rumahnya Jadi Tempat Penyusunan Naskah Proklamasi Ternyata 'Manusiawi' Belaka

Mereka menolak sama sekali kemungkinan adanya kesan seakan-akan kemerdekaan yang akan diproklamasikan adalah "hadiah" Jepang.

Golongan Soekarno-Hatta juga tetap bersandar pada kekuatan sendiri.

Tetapi mereka memandang unsur kekuatan Jepang yang masih ada, sebagai realitas yang tak dapat diabaikan, justru untuk menyusun organisasi dan kekuatan revolusi selanjutnya.

Keduanya tetap hendak mempergunakan Panitia Persiapan Kemerdekaan yang ditambah dengan unsur Pemuda dan unsur-unsur lain sebagai tempat musyawarah dan penyalur.

Karena itu diputuskan untuk mengundang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berapat pada tanggal 16 Agustus jam 10 pagi di kantor Dewan Sanyo di Pejambon nomor 2 (Deparlu sekarang).

Pertemuan itu urung terjadi, karena hari itu jam 4 pagi Bung Karno dan Bung Hatta sudah dibawa ke Rengasdengklok oleh pemuda-pemuda Sukarni-Chairul Saleh.

Pada akhirnya kita tahu, karena perdebatan itu sama-sama ingin memperjuangkan kemerdekaan, pada akhirnya proklamasi kemerdekaan pun bisa dikumandangkan.

Merdekalah Indonesia. Merdekalah selama-lamanya.

Artikel ini merupakan potongan dari artikel "Sayuti Melik: Berkisah Sekitar Proklamasi Kemerdekaan" yang ditulis oleh Jakob Oetama dalam buku "Sketsa Tokoh".

Baca Juga:Cerita Unik di Balik Tiga Foto Suasana Proklamasi Kemerdekaan yang Kerap Muncul dalam Buku Sejarah

Artikel Terkait