Bak Menepuk Air di Dulang, Dua Anggota Polisi Jadi Tersangka 'Unlawfull Killing', Hanya 7 Jam Setelah Beredar Telegram Kapolri Larang Media Tayangkan Kekerasan Anggotanya

Ade S

Penulis

Grid Networks Dua Anggota Polisi Jadi Tersangka Unlawfull Killing, Hanya 7 Jam Setelah Beredar Telegram Kapolri Larang Media Tayang
Dua Anggota Polisi Jadi Tersangka Unlawfull Killing, Hanya 7 Jam Setelah Beredar Telegram Kapolri Larang Media Tayang

Intisari-Online.com -Kepolisian Indonesia sedang menghadapi sebuah ironi yang pahit kala merekaingin tampil lebih humanis namun justru malah terlibat masalah hukum.

Selasa (6/4/2021), sebuah telegram dari Kapolri menjadi bahan perbincangan masyarakat Indonesia.

Maklum, telegram tersebut dianggap kontroversial karena melarang media massa untuk menayangkan aksi kekerasan yang dilakukan anggota polisi.

Ironisnya, tidak sampai berselang tujuh jam kemudian, dua anggota Polisi malah menjadi tersangkaunlawfull killing anggota laskar FPI.

Baca Juga: Bak Hidup di Sarang Singa Tewas Diterkam Buaya, Tragisnya Nasib Wanita Ini Seumur Hidup Jadi Budak Nafsu, Begitu Bebas Bukannya Ditolong Malah Dieksekusi Mati Polisi

Surat telegram nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu sebelumnya diteken Kapolri pada 5 April 2021.

Telegram berisikan 11 poin tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

Salah satu isinya yaitu melarang media menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

Oleh sebab itu, media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas tetapi humanis.

Baca Juga: Bocor, Telegram Kapolri Larang Media Tayangkan Kekerasan yang Dilakukan Anggotanya, Benarkah untuk Meningkatkan Kinerja?

Namun, Surat Telegram itu kemudian dicabut melalui Surat Telegram Kapolri nomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono atas nama Kapolri.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kemudian juga turut meminta maaf terkait surat telegram yang mengatur tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

Sigit memahami mengenai timbulnya penafsiran yang beragam terhadap surat telegram itu.

"Mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan insititusi Polri agar bisa jadi lebih baik," kata Sigit dalam keterangannya, Selasa (6/4/2021).

Baca Juga: Bak Hidup di Sarang Singa Tewas Diterkam Buaya, Tragisnya Nasib Wanita Ini Seumur Hidup Jadi Budak Nafsu, Begitu Bebas Bukannya Ditolong Malah Dieksekusi Mati Polisi

Sigit menjelaskan, semangat yang mendasari penerbitan telegram tersebut, yaitu agar jajaran kepolisian tidak bertindak arogan atau menjalankan tugas sesuai standar prosedur operasional yang berlaku.

Lewat telegram itu, kata Sigit, ia menginstruksikan agar seluruh personel kepolisian tetap bertindak tegas, tetapi juga mengedepankan sisi humanis dalam menegakan hukum di masyarakat.

"Arahan saya ingin Polri bisa tampil tegas namun humanis. Namun kami lihat di tayangan media masih banyak terlihat tampilan anggota yang arogan, oleh karena itu tolong anggota untuk lebih berhati-hati dalam bersikap di lapangan," ujar Sigit.

Menurut Sigit, perilaku anggota kepolisian selalu disorot oleh masyarakat.

Baca Juga: Saking Tak Mau Ditangkap Polisi, Dengan Tangan Diborgol ke Belakang Pencuri Ini Berhasil Bawa Kabur Mobil Polisi, Begini Akhir Kisahnya

Perbuatan arogan oknum polisi dapat merusak citra Polri yang saat ini sedang berusaha menuju untuk lebih baik dan profesional.

"Masih sering terlihat anggota tampil arogan dalam siaran liputan di media, hal-hal seperti itu agar diperbaiki sehingga tampilan anggota semakin terlihat baik, tegas namun humanis," kata dia.

Sigit mengakui telegram itu menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan pers.

Ia menegaskan bahwa telegram itu bukan bertujuan membatasi kerja-kerja jurnalistik wartawan media massa terhadap kepolisian.

Baca Juga: Pantas Saja Sedikit Info Tentangnya, Meski Menyandang Gelar Anak Presiden China, Rupanya Siapapun yang Bocorkan Informasi Soal Anak Xi Jinping Akan Diburu Petugas Khusus China

"Bukan melarang media untuk tidak boleh merekam atau mengambil gambar anggota yang arogan atau melakukan pelanggaran," ucapnya.

Ironis

Namun, hanya berselang 7 jam sejak telegram beredar di media dan 2 jam sebelum Kapolri meminta maaf, wajah Polri malah tercoreng.

Dua anggotanya diduga terlibat dalam kasus unlawful killing yang menewaskan empat anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.

Baca Juga: Telinga Tak Mampu Mendengar, Mulut Tak Mampu Berbicara, Gadis Ini Hanya Sanggup Ungkap Nama Pria yang Diduga Telah Merudapaksanya dengan Cara Ini, Polisi Malah Sebut Tak Bisa Temukan Bukti

Namun, satu orang di antaranya telah dinyatakan meninggal dunia, sehingga tersisa dua orang sebagai tersangka.

"Penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa Kilometer 50 dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan maka status dari terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (6/4/2021).

Satu tersangka yang sebelumnya meninggal dunia adalah EPZ. Ia disebutkan meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal di Tangerang Selatan, Banten pada 4 Januari 2021.

"Berdasarkan Pasal 109 KUHAP, karena yang bersangkutan meninggal dunia, maka penyidikannya langsung dihentikan," ujar Rusdi.

Baca Juga: Diduga Terkait Bom Bunuh Diri di GerejaKatedral Makassar yang Menelan Korban Puluhan Orang Luka-luka, Tak Disangka Bahan Peledak Nyaris Setara 70 Bom Pipa

Sementara itu, dua tersangka lainnya akan melanjutkan proses hukum. Rusdi menjamin polisi akan menyelesaikan kasus ini secara profesional, transparan, dan akuntabel.

"Jadi kelanjutannya, terdapat dua tersangka anggota yang terlibat dalam peristiwa Kilometer 50," ucapnya.

Peristiwa dugaan unlawful killing terhadap anggota laskar FPI itu terjadi di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020. Tiga polisi dari Polda Metro Jaya jadi terlapor dalam perkara itu.

Ketiganya diduga melakukan tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan kematian berdasarkan Pasal 338 jo Pasal 351 ayat (3) KUHP.

Baca Juga: Lakukan Olah TKP Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Makassar, Polisi Temukan Banyak Paku Berserakan dengan Jarak Sekitar 100 Meter, Jelas Ada Unsur Bom Rakitan

Pengusutan perkara oleh Polri ini berangkat dari investigasi Komnas HAM yang menyimpulkan tewasnya empat dari enam anggota laskar FPI merupakan pelanggaran HAM.

Sebab, keempatnya tewas ketika sudah dalam penguasaan aparat kepolisian. Atas kesimpulan itu, Komnas HAM merekomendasikan agar tewasnya empat anggota laskar FPI dilanjutkan ke pengadilan pidana.

Lantas apa itu unlawful killing atau extrajudicial killing?

Dikutip dari Amnesty USA, extra judicialkilling atau unlawful killing adalah tindakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah pemerintah atau pihak berkuasa lain.

Kemudian, pihak berwajib tidak berhasil untuk menginvestigasi secara mendalam atau pun menangkap siapa otak dari tindakan pembunuhan tersebut.

Sementara, dikutip dari SEAJBEL, ekstrajudicial killing adalah saudara kembar dari penyiksaan.

Secara khusus, yang paling disayangkan adalah unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum yang bermotif politik.

Dalam jurnal tersebut tertulis, pembunuhan jenis ini banyak terjadi karena berkaitan dengan motif politik.

(Tsarina Maharani, Inza Maliana)

Artikel Terkait