Penulis
Intisari-Online.com – Suara tembakan, ledakan bom, dan pertempuran militer, kamar hotel yang tidak diketahui, area militer dan industri, dan bandara.
Tindakan teror yang tiba-tiba dan acak, ancaman eksekusi, serta penyiksaan fisik dan mental.
Itu semua adalah pemandangan dan tindakan yang terjadi pada bulan-bulan terakhir di tahun 1990 terhadap penumpang dan awak pesawat British Airways Flight 149.
Mereka disandera di Kuwait di tengah-tengah invasi tentara Irak, yang menaiki pesawat 149 lalu membawa mereka pada kengerian perang dalam hidup mereka.
1 Agustus 1990 itu sebanyak 367 wisatawan dan 18 awak maskapai penerbangan naik Bristish Airways Flight 149 di Bandara Heathrow di London.
Mereka bersiap untuk penerbangan yang panjang, namun lancar.
Pesawat akan berhenti untuk singgah singkat di Kota Kuwait, lalu berhenti lagi untuk singgah sebentar di Madras (kota sekarang disebut Chennai), dan kemudian mencapai tujuan akhir di Bandara Sultan Abdul Aziz Shah di Kuala Lumpur.
Namun, para penumpang pesawat Flight 149 tidak pernah mendarat di Malaysia.
Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan di Kuwait, dalam ketakutan akan apa yang terjadi dan khawatir mungkin tidak akan pernah melihat rumah atau orang yang mereka cintai lagi.
Masalah mulai muncul beberapa jam sebelum Flight 149 dijadwalkan lepas landas.
Ketika itu internasional sudah tahu bahwa Saddam Hussein siap untuk segera bertindak karena ketegangan antara Kuwait dan Irak semakin memuncak.
Media di Inggris, Amerikda Serikat, dan di seluruh dunia melaporkan bahwa Kuwait semakin berbahaya.
Minggu terakhir Juli, Saddam Hussein menuntut agar pemimpin Kuwait menyerahkan sebagian wilayah mereka pada kendali Irak.
Pasukan militer Irak kemudian bergerak ke posisinya dan mulai menambah jumlah pasukan yang menunggu di perbatasan Kuwait-Irak.
Ketika situasi politik antara Irak dan Kuwait semakin meningkat, pasukan militer mulai berkumpul di wilayah tersebut, dan para ahli di seluruh dunia sudah memperingatkan para wisatawan untuk menjauh dari daerah konflik.
Sayangnya, tidak ada yang mengubah rencana British Airways.
Flight 149 tetap dijadwalkan seperti semula, tanpa ada perubahan pada rencana perjalanannya.
Meski mendapat banyak peringatan, penumpang dan pesawat itu harus berhenti di Kota Kuwait.
Meskipun seluruh dunia mungkin telah mempersiapkan invasi atau serangan di perbatasan Kuwait, rencana penerbangan British Airways tetap berjalan tanpa perubahan.
Sebelum lepas landas, Flight 149 sempat menghadapi masalah kecil, yaitu masalah mekanis.
Penumpang menunggu selama beberapa jam di Bandara Heathrow saat para kru mekanis memperbaiki pada unit tenaga tambahan pesawat.
Akhirnya, pada dini hari tanggal 1 Agustus, awak pesawat mulai menaiki Flight 149.
Pukul 18.05, dengan 367 penumpang dan 18 awak pesawat, Flight 149 lepas landas meninggalkan tempat aman di London.
Sementara pesawat itu melaju menuju tujuan pertamanya, Irak melakukan invasi ke Kuwait, berniat mengambil kendali atas wilayah yang telah ditolak Hussein.
Di tengah invasi, Flight 149 mendarat di Bandara Internasional Kuwait pada pukul 1.13 pada 2 Agustus.
Seperti biasa, para awak mengosongkan pesawat, kemudian membawa penumpang ke bandara untuk singgah selama satu jam seperti dijadwalkan.
Namun, ketika para pelancong memasuki gedung, mereka menemukan gedung itu benar-benar kosong.
Tidak ada staf maskapai penerbangan atau bandara, tidak ada sesama wisatawan yang menuju ke tujuan yang berbda, dan tidak ada kru di darat.
Rupanya, karena situasi politik yang berbahaya, semua maskapai lain telah membatalkan penerbangan yang direncanakan dan menghindari pendaratan di Bandara Kuwait.
Sementara penumpang Flight 149 menunggu di bandara, mereka tidak menyadari apa yang terjadi di kota, namun mereka mendengar suara tembakan dan ledakan tank.
Suara-suara perang itu tentu saja membuat para penumpang dan awak pesawat gelisah.
Alih-alih tetap berada di bandara selama waktu singgah, kru mulai menaikkan penumpang kembali ke pesawat pada pukul 02.05.
Sebelum Flight 149 bisa menghantam landasan pacu dan menuju perhentian berikutnya di Madras, bom meledak di jalurnya. Militer Irak telah tiba di Bandara Kuwait.
Terdampar di pesawat Boeing 747, rencana penumpang dan awak Flight 149 jadi berubah.
Pukul 04.30, lebih dari dua jam setelah mereka naik kembali, anggota militer Irak mengeluarkan mereka dari pesawat dan membawa ke hotel terdekat dengan bus.
Keesokan paginya, mulai beredar berita di dunia bahwa penumpang di pesawat Flight 149 semuanya hidup, aman, dan tidak terluka. Namun perjalanan mereka masih jauh dari selesai.
Mereka menghabiskan hari-hari pertama di Kuwait dengan dikurung di sebuah hotel yang tidak jauh dari bandara.
Selama itu, militer Irak memindahkan mereka ke berbagai lokasi di seluruh kota.
Selama berbulan-bulan, para penumpang berpindah dari hotel ke hotel dan bahkan dibawa keluar dari Kuwait dan ke Irak.
Setelah sepuluh hari pertama di bawah kendali Irak, mereka dibagi dalam kelompok.
Beberapa dibawa ke lokasi militer atau industri yang berbeda, sementara yang lain dipindahkan ke hotel baru.
Meskipun Irak mengklaim bahwa mereka dari Flight 149 adalah ‘tamu terhormat’, nyatanya, mereka adalah sandera, yang tidak pernah bebas dari pengawalan bersenjata dan pengawasan ketat tentara Irak.
Tentu saja, mereka tidak diperlakukan sebagai tamu, mereka menyaksikan tentara Irak melakukan tindakan kekerasan terhadap warga Kuwait, dan mengalami siksaan fisik dan mental sendir.
Anggota militer Irak meneror para sandera dengan ancaman eksekusi dan pemerkosaan, membuat mereka hidup diliputi ketakutan dan kepanikan.
Beberapa sandera akhirnya dibebaskan, tetapi tidak semuanya, militer Irak membebaskan masing-masing orang pada waktu yang berbeda dan alasan yang berbeda.
Menjelang akhir Agustus 1990, Irak mengizinkan wanita dan anak-anak untuk pulang.
Para sandera yang tersisa terpaksa berada dalam situasi yang makin suram dan berbahaya.
Mengerikan, Hussein menggunakan para sandera itu sebagai perisai hidup, menjaga dirinya dari tembakan dan kematian dengan memegang tubuh mereka yang tidak bersalah di depan dirinya dan lokasi militer terpentingnya.
Setelah pembebasan sandera pertama, militer Irak mengizinkan kelompok lain untuk pulang juga, mereka adalah orang cacat atau sakit, lalu orang yang telah meninggal selama ditahan.
Beberapa dibebaskan karena mereka berasal dari Prancis, Jerman, atau Jepang, sementara sandera AS dan Inggris, dibebaskan paling akhir.
Banyak pejabat pemerintah dari seluruh dunia menghubungi Saddam Hussein untuk membebaskan para sandera dari Flight 149.
Mantan Perdana Menteri Inggris Edward Heath berhasil merundingkan pembebasan para sandera.
Heath terbang ke Baghdad dan berbicara langsung dengan Hussein dan, akhirnya, sandera terakhir kembali ke rumah pada Desember 1990.
Empat bulan setelah cobaan berat itu, orang-orang terakhir dari Flight 149 tiba di rumah.
Meskipun mereka telah kembali dengan aman, kontroversi seputar British Airways dan keputusan maskapai untuk terbang langsung ke Kuwait belum berakhir.
Banyak penumpang Flight 149 yang mengambil tindakan hukum terhadap British Airways, beberapa tuntutan hukum menyebutkan kelalaian, kehilangan properti, dan kerusakan.
Beberapa penumpang Prancis memenangkan argumen mereka pada Juli 1999, ketika British Airways membayar GB £ 2,5 juta sebagai ganti rugi.
Bagaimana pun, nasib para penumpang dan awak pesawat British Airways Flight 149 dicatat dalam sejarah sebagai peristiwa penting dalam persiapan Perang Teluk.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari