Penulis
Intisari-Online.com - Paskhas merupakan pasukan khusus Indonesia dari TNI Angkatan Udara (AU).
Pasukan khusus tersebut merupakan pasukan tempur yang bersifat infantri dengan format organisasi tempur yang khas bagi kebutuhan matra udara.
Semboyannya adalah Karmanye Vadikaraste Mafalesu Kadatjana, yang artinya melaksanakan tugas atau bekerja tanpa menghitung untung dan rugi.
Paskhas juga dikenal dengan julukan 'Korps Baret Jingga', dibentuk tahun 1947, dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Rupanya, pembentukan Paskhas dilakukan atas permintaan Gubernur Kalimantan yang ketika itu menjabat, yaitu Mohammad Noor.
Gubernur Kalimantan Mohamad Noor meminta pembentukan pasukan untuk membantu perjuangan rakyat Kalimantan mempertahankan kemerdekaan RI.
Itu karena setelah Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus di kumandangkan, pemuda dan rakyat Kalimantan sebagai salah satu wilayah RI, masih harus berjuang melawan NICA yang bermaksud berkuasa kembali.
Pada tanggal 10 Oktober 1945, rakyat Kalimantan Selatan berhasil membentuk Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Republik Indonesia, dengan Banjarmasin sebagai ibukotanya.
Baca Juga: Sebelum Terperosok dalam Star Syndrome, Kenali Ciri-cirinya dari Terlena hingga Lupa Diri
Pasukan Sekutu yang pada waktu itu menduduki Kalimantan, pada tanggal 24 Oktober 1945 menyerahkan kekuasaan secara resmi kepada NICA.
Tindakan tersebut langsung menimbulkan kemarahan rakyat setempat yang setia kepada Republik Indonesia.
Mereka mulai membentuk barisan untuk menentang penjajah.
Bantuan yang diharapkan melalui laut dari Jawa terhalang, karena Belanda menjalankan blokade di laut. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah melalui udara.
Muhammad Noor mengirim surat kepada KSAU Komodor Udara Suryadi Suryadarma.
Isinya meminta bantuan agar AURI bersedia melatih pemuda-pemuda asal Kalimantan, kemudian menerjunkan mereka kembali ke Kalimantan untuk berjuang membantu saudara-saudaranya.
Pimpinan AURI kemudian mengadakan perundingan dengan Markas Besar Tentara.
Akhirnya MBT sepakat untuk membentuk staf khusus yang bertugas menghimpun pasukan payung.
Pada 17 Oktober 1947, 13 orang dipersiapkan untuk terjun di Kotawaringin.
Mereka semuanya belum pernah mendapat pendidikan secara sempurna tentang terjun payung, kecuali teori dan latihan darat.
Melansir laman resmi Kopaskhas, paskhas.mil.id, penerjunan dilakukan dengan pesawat Dakota RI-002.
Pesawat tersebut merupakan pesawat sewaan milik Robert Earl Freeberg, seorang pilot berkebangsaan AS yang dikenal dengan julukan One Man Air Force.
Kemudian, Dakota RI-002 lepas landas pada pukul 03.40 dan berhasil menerjunkan ke-13 orang tersebut di atas Kotawaringin.
Pada pukul 07.00 WIB kala itu, pesawat Dakota yang membawa 13 prajurit AURI berada di atas sasaran dan melakukan penerjunan di daerah Sambi, Kotawaringin, Kalimantan Tengah.
Mereka bertugas membentuk dan menyusun gerilyawan, membantu perjuangan rakyat di Kalimantan, membuka stasiun radio induk untuk menghubungkan Yogyakarta-Kalimantan, dan mengusahakan serta menyempurnakan dropping zone untuk penerjunan selanjutnya.
Operasi Kotawaringin ini menjadi catatan sejarah sebagai operasi pertama pasukan payung di Indonesia.
Tanggal penerjunan itu pun dijadikan sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat).
Kopasgat selanjutnya berubah menjadi Paskhas TNI AU, yang kita kenal sekarang.
Kisah Anggota Pasukan Terjun Payung Pertama yang Selamat dari Pengepungan Belanda
Berbicara tentang pasukan terjun payung dalam operasi Kotawaringin ini, 13 orang itu juga menjadi pasukan terjun payung pertama di Indonesia.
Siapa saja mereka?
Melansir Kompas.com, Tjilik Riwut saat itu ditunjuk sebagai komandan pasukan penerjun yang bersandi MN1001 itu.
Tjilik merupakan pejuang asal Kalimantan Tengah dan 13 peterjun dalam pasukan itu juga sebagian besar berasal dari Kalimantan. Sebagian lagi dari Pulau Jawa.
Mereka adalah Kapten Hari Hadisoemantri (asal Semarang), Letda Iskandar (Sampit), Serma Kosasih (Barito), Kapten FM Soejoto (Ponorogo), Bachri (Barabai), J Bitak (Kelapa Baru-Kalimantan), C Willem (Kuala Kapuas), Imanuel Nuhan (Kahayan Hulu), Mika Amirudin (Kahayan Hulu), Ali Akbar (Balikpapan), Letda M Dachlan (Sampit), JH Darius (Kasongan), dan Marawi (Rantau Pulut).
Imanuel Nuhan, yang merupakan salah satu dari 13 pasukan penerjun payung itu, pernah menceritakan bagaimana ia bisa bergabung dengan pasukan tersebut.
Melansir Kompas.com, Hernison Inuhan, putra Imanuel Nuhan yang selalu mendampinginya, menceritakan bagaimana sang ayah dapat tercatat dalam sejarah sebagai penerjun pertama Indonesia.
"Dulu bapak sekolah di Sekolah Rakyat, lalu ada kawan bapak yang bawa beliau sekolah pelayaran di Jawa. Bapak kemudian berangkat dari Desa Tewa ke Pulau Jawa. Setelah lulus, ia kemudian menjadi tentara Jepang," kata Hernison saat mendampingi ayahnya berkunjung ke Desa Sambi, Selasa (23/8/2016).
Baca Juga: Sebelum Terperosok dalam Star Syndrome, Kenali Ciri-cirinya dari Terlena hingga Lupa Diri
Saat Jepang kalah dari sekutu, Imanuel kemudian bergabung ke Tentara Rakyat Indonesia (TRI).
Saat bergabung di TRI itu, ia sempat berperang di Surabaya dan sekitarnya.
"Pada saat penerjunan itu, semua anggota selamat, namun saat istirahat di pondok tak jauh dari lokasi pendaratan, mereka dikepung pasukan Belanda dan terjadi kontak senjata hingga menyebabkan tiga orang pejuang tewas," lanjut Hernison.
Saat pengepungan oleh pasukan Belanda itu, beberapa orang sempat meloloskan diri, termasuk Imanuel. Namun, pada akhirnya semuanya tertangkap.
Imanuel menjadi orang terakhir yang tertangkap. Mereka yang tertangkap kemudian dipenjarakan Belanda di Nusakambangan.
Setelah melalui berbagai perundingan, seluruh tahanan akhirnya dibebaskan.
"Setelah bebas, bapak ditugaskan di beberapa tempat, termasuk pernah di kebun binatang Wonokromo. Setelah Pak Tjilik jadi gubernur, ia ditarik jadi kabiro humas sampai akhirnya pensiun pada tahun 1980," ungkapnya.
Di masa tuanya itu, Imanuel terkadang meminta kepada anak-anaknya agar dibawa ke Desa Sambi, tempatnya mendarat dulu. Ia ingin menemui warga desa.
Immanuel Nuhan meninggal dunia pada 9 Oktober 2019 di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya, pada usia 96 tahun.
(*)