Penulis
Intisari-Online.com - Setelah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, Arab Saudi juga diisukan akan menyusul normalisasi hubungan dengan Israel.
Pernyataan ini muncul karena sejumlah indikator menginsyaratkan Arab Saudi akan menyusul normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.
Arab Saudi menjadi salah satu aktor penting dalam beberapa peristiwa politik di Timur-Tengah, termasuk dalam isu-isu Palestina.
Resolusi perdamaian 2002 yang menjadi pijakan negara-negara Arab dan Timur-Tengah justru ditandatangani di Arab Saudi yang menandakan betapa pentingnya negara minyak itu sebagai mediator dalam memecahkan kebuntuan dalam formulasi dan formalisasi damai antara Israel dan Palestina.
Setelah 18 tahun penandatanganan resolusi damai tersebut, Arab Saudi sepertinya memilih jalan baru untuk tidak menjadi mediator lagi, melainkan sebagai pihak yang secara terang-terangan menegaskan keberpihakannya terhadap Israel.
Hal tersebut dapat dilihat dalam normalisasi hubungan diplomatik yang diambil UAE-Bahrain dan Israel.
Sementara itu,Menteri luar negeri Arab Saudi,Pangeran Faisal bin Farhan, membantah spekulasi bahwa Arab Saudi mungkin akan membangun hubungan diplomatik penuh dengan Israel.
Melansir Al Jazeera, Jumat (4/12/2020), Pangeran Faisal mengatakan Arab Saudi hanya akan menormalisasi hubungan dengan Israel dalam rencana yang akan memberikan negara berdaulat kepada Palestina.
Ia juga menepis spekulasi bahwa Arab Saudi akan segera menjadi negara Arab berikutnya yang akan menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel.
"Apa yang kami butuhkan untuk membuat (normalisasi hubungan dengan Israel) terjadi adalah kesepakatan damai yang memberikan negara Palestina dengan bermartabat dan dengan kedaulatan yang bisa diterapkan yang dapat diterima Palestina," kata Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud pada hari Jumat.
Pangeran Faisalmengatakan hal tersebut dalam pembicaraan online di Med2020.
Itu adalah forum internasional tahunan yang diadakan setiap tahun di ibu kota Italia, Roma, yang mempertemukan para pemimpin dunia.
Pangeran Faisal mengatakan Arab Saudi membayangkan normalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan pembentukan negara Palestina dalam garis perbatasan 1967.
"Kesepakatan itu harus dinegosiasikan, tapi yang penting sekarang adalah membawa kembali orang Israel dan Palestina ke meja perundingan untuk bekerja menuju kesepakatan yang adil," kata Pangeran Faisal.
Yang disebut Abraham Accords ditandatangani pada bulan September untuk menormalisasi hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.
Perjanjian tersebut, yang ditengahi oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump, termasuk pembekuan oleh Israel atas rencana aneksasi tanah Palestina.
Pejabat Palestina sendiri mengutuk normalisasi itu dan menyebutnya sebagai "tusukan di belakang perjuangan Palestina dan rakyat Palestina".
Pangeran Faisal mengatakan normalisasi hubungan dengan Israel telah lama menjadi bagian dari visi Arab Saudi.
"Ini pertama kali dibicarakan di Fez pada tahun 1982 oleh Putra Mahkota Fahad," katanya.
“Kami masih memiliki visi yang sama, di mana Israel menjadi bagian normal dari kawasan itu, di mana ia (Israel) memiliki hubungan yang sepenuhnya normal dengan tetangga. Apa yang kami butuhkan untuk mewujudkannya adalah memberikan negara (Palestina)."
Solusi dua negara mencerminkan Inisiatif Perdamaian Arab, yang diusulkan oleh Arab Saudi pada tahun 2002.
Inisiatif tersebut menyerukan untuk menormalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab lainnya dengan imbalan penarikan penuh oleh Israel dari tanah yang didudukinya dalam perang tahun 1967, termasuk Dataran Tinggi Golan, Yerusalem Timur dan Tepi Barat.
Inisiatif tersebut didukung kembali selama bertahun-tahun oleh Liga Arab tetapi tidak pernah dilaksanakan, karena Israel melanjutkan pendudukan dan perluasan permukimannya di Tepi Barat.
Posisi Qatar
Beberapa jam sebelumnya, Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani juga menyampaikan pendapat Qatar tentang Perjanjian Abraham ke platform Med2020, dengan mengatakan Qatar tidak menganggapnya membantu perjuangan Palestina.
Al Thani mengatakan masalah Palestina harus menjadi inti dari perjanjian normalisasi apa pun antara Qatar dan Israel.
“Jika ada peluang untuk perdamaian, berdasarkan resolusi yang adil dari masalah Palestina, mendirikan negara merdeka berdaulat (Palestina) dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, menurut Prakarsa Perdamaian Arab, Qatar akan bekerja sama dengan negara-negara lain di kawasan itu,” kata menteri.
"Saat ini, saya tidak melihat bahwa normalisasi hubungan antara Qatar dan Israel akan menambah nilai pada masalah Palestina."
Al Thani mengatakan Qatar memiliki "hubungan kerja" dengan Israel yang bertujuan untuk memfasilitasi pengiriman bantuan dan dukungan pembangunan kepada rakyat Palestina.
"Untuk saat ini, hubungan ini cukup menguntungkan saudara-saudara kita di Palestina."