Gunung Semeru Meletus: Beda Dari Gunung Api Lainnya, Kata Ilmuwan NASA Jika Gunung yang Sebabkan Seluruh Dunia Gelap Ini Meletus, Maka Itu Berita Bahagia Bagi Kehidupan Umat Manusia

Mentari DP

Penulis

Gunung Semeru dilaporkan meletus. Guguran awan panas dari puncak kubah memiliki jarak luncur 2 kilometer hingga 11 kilometer.

Intisari-Online.com - Kabar mengejutkan datang dariGunung Semeru.

Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani, Gunung Semerudilaporkan meletus pada Selasa (1/12/2020) mulai pukul 01.23 WIB.

"(Meletus) sekitar jam 01.23 dan diikuti oleh rentetan beberapa jam setelahnya," kata Kasbani kepada Kompas.com pada Selasa (1/12/2020).

Guguran awan panas dari puncak kubah memiliki jarak luncur 2 kilometer hingga 11 kilometer.

Baca Juga: Covid Hari Ini 2 Desember 2020: Total Kasus Jadi 543.975 Orang, Kasus Harian Tembus 5.000 Kasus, hingga Zona Merah di Indonesia Bertambah Jadi 50 Daerah, Ini Rinciannya

Menurut dia, belakangan ini, Gunung Semeru beberapa kali meletus.

Akan tetapi, letusan kali ini diikuti oleh runtuhnya kubah lava.

Hal ini mengakibatkan guguran awan panas menuju ke lembah sebelah selatan.

"Kebetulan lembah ke selatan itu kan memang daerah yang tidak ada penghuninya dan sering dilalui aliran awan panas sebelumnya," jelas dia.

Jika berbicara soal gunung meletus, tentu kita akan was-was.

Namun hal itu berbeda jikaGunung Agung meletus, menurut para peneliti dan ilmuwan NASA kita harus bahagia.

Baca Juga: Sudah Masuk Bulan Desember, Presiden Jokowi Tambah Libur Nasional,Seperti Ini Jadwal Libur Panjang dan Tahun Baru 2021, Catat Ya!

Menurut mereka, meletusnya Gunung Agung itu berpotensi menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.

Kok begitu?

Kabar ini sempat menjadi pembicaraan hangat padaFebruari 2018 silam.

Saat itu NASA berharap bisa memanfaatkan gunung berapi yang meletus di pulau itu—ya benar, Gunung Agung—untuk mempelajari efek lebih lanjut.

Para peneliti itu berharap, dengan melacak letusan Gunung Agung, mereka bisa tahu lebih banyak tentang bagaimana bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfer bisa digunakan untuk melawan perubahan iklim.

Setelah Gunung Agung bangun dari tidur dan kemudian meletus pada akhir November tahun lalu, secara konsisten gunung itu menuangkan uap dan gas ke atmosfer.

Fenomena ini cukup khas meskipun beberapa gunung berapi begitu kuat sehingga bisa menyebabkan apa yang dikenal dengan “musim dingin vulkanik”.

Letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah yang tercatat terjadi di Gunung Tambora pada 1815.

Letusan ini menyebabkan “Tahun Tanpa Musim Panas”, menyebabkan turunnya salju di Albany, New York, pada Juni setahun berikutnya.

Letusan ini juga menghancurkan tanaman pangan, membuat orang-orang kelaparan, dan rupanya mengilhami Mary Shelley untuk menulis Frankenstein.

Bagi para peneliti, Gunung Agung bisa menjadi kesempatan mereka untuk mengetahui bagaimana gunung berapi mempengaruhi iklim seperti Gunung Tambora.

Baca Juga: Sanggup Luluh Lantakkan Pangkalan Angkatan Laut Dalam Sekejab Mata, Inilah ProyekKapal Selam Nuklir Tercanggih Rusia, Siap Beroperasi Akhir Tahun Ini

Penelitian ke Gunung Agung dimulai dengan penerbangan sepuluh jam ketika sebuah gunung berapi di Filipina meletus pada 1991.

Para ilmuwan telah mengambil tren selama letusan skala yang lebih kecil pada 1982 dari gunung berapi El Chichon di Meksiko.

Tapi tidak ada yang seperti apa yang mereka lihat di Gunung Pinatubo di Filipina yang disebut sebagai letusa terbesar abad ke-20.

Memuntahkan satu kubik mil batu dan abu ke udara dan 20 juta ton gas belerang dioksida ke atmosfer, Gunung Pinatubo tidak hanya menghancurkan masyarakat sekitar tapi sejumlah gasnya yang dikeluarkannya mempengaruhi keseluruhan planet kita.

Ketika Pinatubo meletus, sejumlah besar gas yang dikeluarkan menyebar ke seluruh dunia.

Sejurus kemudian, terjadi reaksi kimia, ketiga gas bercampur dengan uap air yang menghasilkan tetesan “super dingin” kecil yang dikenal sebagai aerosol.

Pada gilirannya, aerosol itu memantulkan dan menyebarkan sinar matahari ke bumi.

Sejumlah besar aerosol memantulkan cahaya yang cukup jauh dari bumi sehingga suhu global rata-rata turun satu derajat Fahrenheit selama beberapa tahun.

Letusan seperti ini, menurutThe New York Times, adalah influencer alami bumi.

Para ilmuwan berharap mereka dapat memanfaatkan letusan ini untuk mempelajari peristiwa besar berikutnya—dan berpotensi menyelamatkan planet ini dari serangkaian dahsyat yang mengerikan.

Baca Juga: Pantas Saja Penyebarannya Semakin Menjadi-jadi Bahkan Tak Terbendung, Ternyata Ada Ratusan Mutasi Virus Corona Bermunculan di Seluruh Dunia, Ahli Tak Bisa Berbuat Apa-apa

Menurut para ilmuwan itu, letusan Gunung Agung identik dengan Pinatubo.

Itulah sebanya NASA berharap bisa mengirim balon ke udara yang dilengkapi perangkat untuk mengukur dampak letusan gunung berapi di atmosfer bumi.

NASA berharap bisa mempelajari efeknya selama bertahun-tahun yang akan datang.

Jika letusan Gunung Api bisa sebesar letusan tahun 1963, ia bisa memompa cukup belerang dioksida ke atmosfer untuk menghasilkan efek pendingin yang signifikan meski pada awalnya akan merusak lapisan ozon.

Tapi masalahnya, para peneliti itu tidak tahu persis kapan Gunung Agung meletus dengan letusan besar.

(Ahmad Naufal Dzulfaroh/Moh Habib Asyhad)

(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Gunung Semeru Meletus Selasa Dini Hari")

Baca Juga: Optimis Kalahkan Amerika dari Sektor Teknologi, China Sukses Daratkan Pesawat Ruang Angkasa Robot di Bulan, Geser Rekor Uni Soviet 44 Tahun

Artikel Terkait