Penulis
Intisari-Online.com - Pada hari Minggu (27/9/2020), sebuah stasiun televisi nasional menayangkan film tentang Gerakan 30 September atau G30S/PKI.
Seperti diketahui, itu adalah kejadian di mana para anggota PKI menculik, membunuh, dan menyiksa para jenderal Indonesia yang kini dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Melihat kekejaman anggota PKI itu selalu membuat merinding.
Seperti kejadian di Yogyakarta ini.
Dalam bulan April 1985, tepatnya tanggal 12, di rumah Judopawiro di Madukidul, daerah Boyolali, 12 orang tokoh PKI Jawa Tengah mengadakan rapat rahasia.
Berikut ini tulisan Drs. P. Swantoro, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966, dengan judul asliKilasan Kenangan dari Jogja: Seandainja Muljono Tjepat Bertindak…
----
Hasil kesimpulannya: PKI akan mendesak Presiden untuk mengadakanopen-wardengan Malaysia dan kemudian PKI akan melakukan pengacauan dari dalam.
Selain itu didesakkan pula, agar buruh tani dipersenjatai dan supaya Indonesia makin merapat dengan RRC.
Lagi pula Komunisme supaya disebarluaskan untuk mengubur Pancasila.
Bukan hanya sekali itu tokoh-tokoh PKI mengadakan rapat rahasia.
Yang jelas, pada tanggal 17 Mei di rumah Hardjosutomo, lurah Mojosari juga diadakan rapat gelap.
Tetapi betapapun rahasianya, namun ada juga orang luar yang dapat mengetahuinya.
Antara Iain polisi Sujoto, yang telah melaporkannya ke Jakarta dalam bulan Mei.
Akan tetapi tak terlihat adanya tanggapan. Sebaliknya suasana masyarakat terasa makin memanas.
Ganyang-mengganyang antara orpol-orpol, ormas-ormas makin menjadi-jadi, persaingan makin meningkat, aksi-aksi sepihak dengan segala akibatnya semakin memuncak, kerusuhan makin hebat, khususnya di kota besar seperti Jakarta.
Di awal bulan Agustus 1965 terjadilah peristiwa yang menggemparkan di Jln.
Surabaya, yang dikatakan soal perampokan dan mengakibatkan gugurnya pejabat keamanan kepolisian Drs. Fadillah.
Ini bukan peristiwa yang kebetulan, akan tetapi direncanakan.
Drs. Fadillah sebagai tokoh pimpinan security dipandang “mengelahui terlalu banyak", sehingga harus diienyapkan.
Mungkinkah almarhum juga mengetahui laporan dari Boyolali?
Orang biasa cuma dapat merasa tegangnya suasana. Akan terjadikah sesuatu yang menggocangkan?
Dalam suasana semacam itu, banyak orang prihatin.
Di Yogya, orang kalangan “dalam” menanggapinya dengan mengadakan pawai mengelilingi beteng (tembok kuno yang mengelilingi istana).
Tidak dengan drumband sebagaimana umumnya dn aiditpawai orpol-ormas ditengah-tengah suasana panas itu, melainkan justru dengan tutup-mulut tidak bicara sepatah katapun.
Tidak di siang hari, melainkan di malam hari.
Jam 22.00 pawai bergerak istimewanya, justru banyak puteri yang Ikut serta. Dan kita yang menyaksikan turut terdiam.
Hingga kini banyak orang yang percaya, bahwa pawai doa mohon selamat dari bencana dengan keliling beteng itulah yang menyebabkan tidak banyak pembunuhan terjadi di kota dan di wilayah Yogya pada zaman Gestapu.
Padahal kalau pemimpin Gestapu Yogya, bekas Major Mulyono, cepat bertindak ia dan kawan-kawannya pasti dapat menghabisi siapa saja yang dipandang sebagai lawannya.
Karena Yogya khususnya dan Jawa Tengah umumnya memang dalam keadaan tidak siaga pada hari-hari sekitar pembentukan “Dewan Revolusi".
Justru keadaan inilah antara lain yang memungkinkan Mulyono dapat mengumumkan pembentukan “Derev".
Tanggal 2 Oktober, tanggal mendaratnya DN Aidit di Yogyakarta (ia bertolak dari lapangan terbang Halim jam 1.30 malam dan tiba di Yogya jam 3.00 pagi).
Pemuda Rakyat, CGMI dan sebangsanya menempelkan plakat dimana-mana, yang pada pokoknya mendukung “Derev" dan mengutuk apa yang disebutnya “Dewan Jenderal".
R.R.I, yang dikuasai Mulyono, pada tanggal 2 Oktober itu juga mengumumkan larangan mendengarkan Radio Jakarta.
Suasana umum takut-khawatir-takut.
Ada apa? Banyak orang tidak tahu keadaan yang sesungguhnya.
Sekali lagi, seandainya Mulyono cepat bertindak...... mungkin diantara tokoh-tokoh yang sekarang masih hidup, banyak yang sudah ditimbun di lobang-lobang buatan PKI.
Kekosongan kekuatan fisik di Yogyakarta dapat kiranya dilihat dari kenyataan, bahwa sampai minggu terakhir bulan Oktober orang-orang PKI masih berkeliaran dengan bebasnya.
Jadi sebenarnya berani sekali orpol-ormas yang mengadakan Rapat Besar di Alun-Alun Utara pada tanggal 20 Oktober, dengan tuntutan utama supaya PKI dibubarkan.
Rapat ini diadakan ditengah-tengah sorotan mata orang-orang PKI. Banyak diantara mereka yang menyaksikannya!
Mengapa Mulyono tidak bertindak?
Mungkin orang-orang PKI yang sekarang diamankan mengenangkan dengan penuh rasa kecewa saat-saat itu!
Mungkinkah ia bimbang dengan cepat gagalnya kup di Jakarta?
Sungguh tragis, bahwa dia sendirilah akirnya yang ditangkap di daerah Boyolali; daerah, yang dijadikan titik-tolak untuk membuka kenang-kenangan ini.
Sekarang dia tidak dapat mengelakkan tanggung jawab atas pembunuhan kejam terhadap atasannja: Komandan Korem 72 Brigjen Anumerta Katamso dan Kepala Stafnya Kolonel Anumerta Sugiyono.
(K.Tatik Wardayanti/Intisari Online)