Penulis
Intisari-Online.com – Masa Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara ditanggapi dengan perlawanan dari berbagai daerah.
Tidak hanya dari Batavia dan sekitarnya, tapi juga dari daerah Sumatera.
Perang di Sumatera melawan penjajah Belanda selain yang dipimpin oleh Cut Nyak Dien di Aceh, adalah Perang Padri.
Perang Padri yang ketahui dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
Perang Padri merupakan peperangan yang terjadi di Sumatera Barat tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada 1803-1838.
Perang Padri awalnya terjadi karena adanya perbedaan prinsip mengenai agama antara kaum Padri dengan Kaum Adat.
Namun lama-lama perang Padri menjadi perjuangan melawan penjajah Belanda. Karena kaum Padri dan kaum Adat bergabung jadi satu berjuang melawan Belanda.
Penyebab Perang Padri
Perang Padri terjadi karena ada pertentangan dari kaum Padri atau kelompok ulama terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi di masyarakat.
Kebiasaan tersebut seperti, judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau maupun menggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan.
Sebelum masyarakat sudah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Namun masyarakat masih tetap menjalankan kebiasaan tersebut dan membuat kaum Padri marah sehingga terjadinya peperangan.
Perang Padri bisa disebut juga sebagai perang saudara. Karena dalam perang tersebut melibatkan Minang dan Mandailing.
Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2005) karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri. Karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah.
Baca Juga: Tak Sembarang Dikukuhkan Sebagai Pahlawan Nasional, Depati Amir Memang Punya Kisah Heroik
Suatu kelompok yang terdiri dari tiga orang haji kembali ke Minangkabau sekitar 1803 atau 1804.
Mereka terilhami oleh penaklukan Makkah oleh kaum pembaharu. Kemudian mereka ingin memperbaharui masyarakat Minangkabau.
Pimpinan-pimpinan utama kaum Padri diberi gelar kehormatan Minangkabau untuk pada guru agama, yakni Tuanku.
Salah satu pemimpin yang paling terkemuka adalah Tuanku Imam Bonjol.
Selama perang saudara meletus yang ingin melakukan pembaruan, kaum Padri menghadapi perlawanan sengit di Tanah Datar dan di dataran-dataran rendah.
Namun kaum Padri mampu meraih kemenangan. Pada 1815, sebagian besar keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda
Dalam perang saudara tersebut kaum Adat mulai mendesak dan meminta bantuan Belanda pada 1821.
Mereka menandatangani suatu perjanjian penyerahan Minangkabau kepada Belanda. Padahal mereka sudah tidak lagi mempunyai kekuasaan riil.
Baca Juga: Kala Jepang Iming-imingi Kebebasan Kepada Rakyat Indonesia Lewat Nujuman Jayabaya tentang Ratu Adil
Tak lama itu serangan pertama Belanda dilakukan kepada kaum Padri. Serangan tersebut mampu memukul mundur kaum Padri keluar dari Pagaruyung.
Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen.
Sementara itu kaum Padri menyusun strategi dan kekuatan di Lintau.
Pada 1822, pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Goffinet oleh kaum Padri. Dalam peristiwa itu Kapten Goffinet terluka dan tewas.
Pada September 1822, Belanda kembali ke Batusangkar setelah tertekan oleh serangan kaum Padri yang dipimpin Tuanku Nan Renceh.
Namun keterlibatan Belanda membuat keadaan semakin kacau dan rumit. Karena Belanda malah ikut mencampuri kaut Adat.
Pada 1833, kaum Adat bergabung dengan Kaum Padri dan bersama-sama berjuang melawan Belanda.
Gencatan Senjata
Pada Januari 1825, terjadi gencatan senjata dengan adanya Perjanjian Masang. Karena Belanda menyadari menghadai peperangan yang berat.
Baca Juga: Lima Warung Kopi Legendaris Indonesia yang Sudah Ada Sejak 1920-an, Cita Rasanya Otentik
Apalagi di waktu bersamaan Belanda juga sedang menghadapi perang di Eropa dan melawan Pangeran Diponegoro di Jawa yang mengeluarkan biaya banyak.
Kaum Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol mencoba melakukan pemulihan kekuatan dan mencoba merangkul kaum Adat untuk bersama-sama berjuang melawan Belanda.
Lahirlah konsensus bersama yang berusaha menegakkan ajaran Islam dan Al-Quran di tanah Minangkabau.
Pada 1832 perang kembali terjadi dan kaum Padri dapat dikalahkan meski mendapat bantuan dari Aceh. Pada 1833 Belanda mulai melancarkan serangan-serangan baru.
Apalagi menyadari tidak lagi perang melawan kaum Padri, tapi juga seluruh masyarakat Minangkabau.
Belanda menutup pesisir barat yang merupakan garis bantuan ekonomi dan pesisir timur yang merupakan pintu gerbang perdagangan Minangkabau.
Pada 1837, Kota Bonjol yang berbenteng akhirnya dapat direbut. Namun, Tuanku Imam Bonjo mampu melarikan diri tapi kemudian menyerah.
Selanjutnya Tuangku Imam Bonjol diasingkan ke Priangan, kemudian Ambon dan akhirnya Manado.
Perang Padri berakhir pada 1838 di Daludalu dengan kemenangan Belanda. Semua perlawanan rakyat Minangkabau berhasil ditumpas Belanda.
Padangse Bovenlanden di bawah kendali Hindia Belanda dan Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica
Selanjutnya Belanda mampu menguasai Minangkabau dan mengandalkan para kepada adat (penghulu).(Ari Welianto)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perang Padri, Perang Saudara yang Berubah Melawan Belanda”
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari