Penulis
Intisari-online.com - Belakangan ini Indonesia di kagetkan dengan kapal China yang nyelonong di wilayah perairan Indonesia.
Kapal dengan nomor lambung 5024 itu terdeteksi oleh radar dan automatic identification system (AIS) kapal milik Bamkala (Badan Keamanan Laut) RI Sabtu (12/9).
Kapal Tiongkok yang dikenal dengan CCG 5204, itu juga dilengkapi dengan senjata senapan mesin yang terpasang di bagian depan.
Penjaga pantai Indonesia menyebut senjaya itu digunakan mungkin untuk melawan bajak laut kata jurnali Phil Star News Patrivia Viray.
Aksi penyelonongan itu juga disorot oleh media berbasi Inggris, Daily Express pada Selasa (15/9/20).
Dalam tulisannya, Express menyebut Indonesia melakukan aksi penentangan atas gangguan yang terjadi di perairan mereka.
Namun, dengan percaya diri China justru mengatakan mereka sedang berpatroli di wilayah yang dimilikinya.
Sementara Duta Besar Indonesia Teuku Faizasyah, mengatakan, "Kementerian menegaskan kembali kepada China tidak ada tumpang tindih antara zona ekonomi eksklusif dan perairan China."
Alhasil, kapal itu harus diusir dari wilayah itu pada Senin (14/9), setelah pertengkaran sengit antara pihak berwenang Indonesia, lapor South China Morning Post.
Kapal itu kemudian dikawal untuk pergi meninggalkan wilayah perairan Natuna yang merupakan milik Indonesia.
Wisnu Pramuditha, juru bicara badan keamanan laut Indonesia (Bamkala) mengatakan pada This Week in Asia pihaknya dengan tegas menolak klaim China atas perairan Natuna.
Ia menambahkan bahwa kawasan itu berada dala zona ekonomi eklusif (ZEE) Indonesia.
Tidak jelas kapan kapal itu datang, namun dikatakan terlihat pertama kali pada hari Sabtu (12/9).
Insiden itu terjadi di dekat Kabupaten Natuna, kepulauan yang merupakan satu di antara 272 pulau di Laut China Selatan.
Klain Beijing atas banyak bagian di Laut China Selatan, mengkaitkannya dengan sembilan garis putus-putus.
Sembilan garis putus-putus itu adalah batas yang membentuk huruf U yang mencakup sekitar 90 persen perairan.
Garis tersebut dikatakan berasal dari tahun 1940-an, ketika dimasukkan ke dalam peta Tiongkok oleh Partai Nasionalis Tiongkok.
Hal itu membuat Tiongkok percaya diri melakukan klaim di wilayah Laut China Selatan, termasuk menyerobot wilayah Natuna yang merupakan milik Indonesia.
Klaim atas Laut China Selatan itu sudah ada sejak ratusan tahun sebelumnya, meski kini masih menjadi perdebatan sengit.
Dalam beberapa bulan Amerika dan Australia dengan tegas menolak klaim berdasarkan sejarah atas wilayah tersebut.
"Australia menolak klaim China atas 'hak bersejarah' atau 'hak dan kepentingan maritim' sebagaimana ditetapkan dalam 'praktik sejarah yang panjang' di Laut China Selatan," ungkap Australia.
"Pengadilan 2016 South China Sea Arbitral Awards menemukan klaim tidak konsisten dengan UNICLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 tentang hukum laut), ketidakkonsistenan itu tidak valid," imbuhnya.
Media China Global Times menanggapi dengan mengecam hubungan Australia yang mengikuti jejak AS dalam menghadapi China memainkan kartu Laut China Selatan.
Hubungan China dan Australia disebut kian memburuk, dan menyebabkan peluang perubahan haluan, dan pilihan Australia kini hanya mengikuti jejak AS.