Penulis
Intisari-Online.com -Seorang presiden ditembak mati tentaranya sendiri setelah berani mendeklarasikan perdamaian dengan Israel.
Hal yang patut diwaspadai para pemimpin Uni Emirat Arab, yang baru saja menyaakan damai dengan negara Yahudi tersebut.
Apalagi, riak-riak penolakan terkait kesepakatan yang diprakarsai dan difasilitasi oleh Amerika Serikat tersebut mulai muncul.
Banyak negara yang mulai mengecam keputusan tersebut, khususnya Palestina dan Iran.
Para pemimpin Uni Emirat Arab seolah lupa bahwa mengambil keputusan damai dengan Israel bisa membahayakan nyawa mereka sendiri.
Terutama setelah baru-baru ini negara tersebut disebut-sebut sudah berani membangun fasilitas intelijen bersama Israel.
Sebuah fasilitas yang akan membuat Israel semakin leluasa di Timur Tengah,dan tentu saja membuat UEA makin dimusuhi negara Islam.
Suatu kondisi yang pernah dialami sebuah negara Arab 41 tahun lalu, yang berakhir dengan kematian presiden mereka.
Negara yang dimaksud, yang berani melakukan perjanjian damai dengan Israel adalah Mesir.
Pada 26 Maret 1979, Mesir dan Israel resmi menandatangani perjanjian damai yang digelar di rumah tetirah presiden AS di Camp David, tak jauh dari Washington DC, Amerika Serikat.
Perjanjian damai yang diteken PM Israel Menachem Begin dan Presiden Anwar Sadat menjadi perjanjian damai pertama antara Israel dan sebuah negara Arab.
Penandatanganan perjanjian damai yang disaksikan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter itu sekaligus mengakhiri perang tiga dekade antara kedua negara bertetangga tersebut.
Dampak lain dari penandatangan ini, PM Begin dan Presiden Sadat sama-sama meraih Hadiah Nobel Perdamaian 1978.
Bagaimana perdamaian kedua negara yang sudah berseteru lama ini bisa terwujud?
Pada Oktober 1973, Mesir dan Suriah bergabung untuk menyerang Israel dengan tujuan merebut kembali wilayah yang direbut Negara Yahudi itu dalam Perang Enam Hari 1967, termasuk Semenanjung Sinai.
Meski dalam konflik yang kemudian dicatat sejarah sebagai Perang Yom Kippur ini Mesir bisa mendapatkan kemajuan strategis, pada akhirnya militer Israel bisa memukul mundur Mesir.
Namun, kesuksesan awal militernya membuat posisi Presiden Anwar Sadat menjadi lebih kuat di kawasan Timur Tengah dan secara internasional.
Di saat yang sama, Amerika Serikat, yang selama ini didekati Sadat, turun tangan untuk memaksa pengunduran sebagian pasukan Israel dari Semenanjung Sinai.
Pada November 1977, Presiden Anwar Sadat berkunjung ke Jerusalem untuk menggelar pembicaraan damai dengan Israel.
Sadat menjadi kepala negara Arab pertama yang melakukan kunjungan resmi ke Israel.
Pembicaraan awal kedua negara kemudian mencapai puncaknya setahun kemudian di Camp David ketika Presiden Sadat dan PM Begin resmi menyepakati perjanjian damai pada 17 September 1978.
Kesepakatan ini terdiri atas dua bagian yaitu "Kerangka Kerja untuk Perdamaian di Timur Tengah" dan "Kerangka kerja untuk Perjanjian Damai antara Mesir dan Israel".
Kesepakatan kedua berujung pada penandatanganan damai Mesir-Israel yang diteken pada 26 Maret 1979.
Sementara kerangka kerja bersama pertama adalah dasar untuk upaya penghentian konflik Arab-Israel secara umum.
Kerangka kerja ini terdiri atas tiga bagian. Salah satunya adalah mewujudkan pemerintahan otonom di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Kesepakatan ini juga mengakui hak-hak rakyat Palestina dan proses ini harus diimplementasikan dengan memberikan otonomi penuh dalam waktu lima tahun.
Namun, saat itu perdamaian baru sekadar kesepakatan dan ketika tidak ada dokumen resmi yang ditandatangani tiga bulan kemudian, Israel memutuskan menghentikan proses dekolonisasi Palestina yang diamanatkan perjanjian Camp David.
Langkah Israel ini mengancam masa depan perdamaian. Untuk menyelamatkan proses tersebut, Presiden Jimmy Carter terbang ke Timur Tengah untuk menemui kedua pemimpin.
Upaya Carter itu tak sia-sia, pada 26 Maret 1979 PM Carter dan Presiden Sadat meneken perjanjian damai itu dalam sebuah seremoni 10 menit di Gedung Putih di hadapan 2.000 undangan.
"Kita sudah memenangkan setidaknya langkah pertama perdamaian, langkah pertama di jalan yang panjang dan sulit," kata Carter yang menyaksikan penandatanganan itu.
"Kita tidak boleh meremehkan rintangan yang mengadang di hadapan kita," tambah Carter.
Dalam kesempatan yang sama Presiden Sadat memuji Carter sebagai "pria yang mewujudkan keajaiban".
Satu-satunya catatan kontroversial datang dari PM Menachem Begin yang menyampaikan harapan terwujudnya "reunifikasi" Jerusalem.
Sisi timur kota tua itu sudah direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967, sebuah sengketa yang masih sensitif hingga saat ini.
Perjanjian ini nantinya akan berujung pada kembalinya Semenanjung Sinai ke tangan Mesir pada 1982 dan mengakhiri pendudukan Israel di tempat itu.
Sebagai imbalan, Mesir menawarkan penghentian kekerasan dan normalisasi hubungan diplomatik, ekonomi, dan budaya.
Perjanjian ini juga membuat kapal-kapal dagang Israel bisa melintasi Terusan Suez. Sementara Selat Tiran dan Teluk Aqaba menjadi perairan internasional.
Namun, perjanjian ini membuat negara-negara Arab lainnya berang dan membuat hubungan di antara mereka memburuk.
Negara-negara Arab mengecam perjanjian damai itu sebagai sebauh pengkhianatan khususnya terhadap hak-hak bangsa Palestina.
Mesir kemudian sempat dikeluarkan dari Liga Arab dan markas besar organisasi itu dipindahkan dari Kairo ke Tunis, Tunisia.
Sebagian besar negara Arab juga memanggil duta besar mereka yang bertugas di Kairo dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir.
Tiga tahun kemudian Presiden Anwar Sadat, yang juga banyak dikecam di dalam negeri, dibunuh kelompok ekstremis.
Israel dan Mesir hingga hari ini masih mempertahankan sebuah "perdamaian yang dingin". Hubungan diplomatik dan keamanan tetap dipertahankan meski publik Mesir tetap membenci Israel.
Perjanjian damai kedua negara bertahan dari sederet konflik di wilayah itu termasuk Perang Israel-Lebanon (1982 dan 2006), pemberontakan Palestina (1987 dan 2000) serta kesepakatan damai gagal antara Palestina dan Israel.
Satu keuntungan lain dari kesepakatan damai ini adalah, Mesir mendapat keuntungan dengan mendapatkan bantuan ekonomi dan militer bernilai jumbo dari Amerika Serikat.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hari Ini dalam Sejarah: Perjanjian Damai Mesir-Israel Ditandantangani".Penulis : Ervan HardokoEditor : Ervan Hardoko