Penulis
Intisari-Online.com - Seberapa jauh sebenarnya kekejaman diktator Korea Utara, Kim Jong-un mungkin tak ada yang tahu tepatnya.
Namun, setidaknya kebrutalan Kim Jong-un tergambar melalui beberapa cerita dan kesaksian orang-orang.
Seperti yang terungkap melalui klaim seorang pembelot, yang mengungkapkan bahwa peringatan 'kematian oleh regu tembak' mengintai di seluruh negara, dikutip dari Express.co.uk.
Korea Utara memang terkenal sebagai negara misterius, yang enggan tersentuh dunia luar.
Namun, justru hal itulah yang sering kali membuat mata dunia tak mau beralih dari 'negara pertapa' ini.
Korea Utara terus memikat banyak orang di seluruh dunia dengan berbagai peristiwa.
Terbaru dari Korea Utara yang menghebohkan yaitu tentang isu hilangnya adik Kim Jong-un, Kim Yo-jong, yang sebelumnya menjadi sorotan.
Spekulasi pun bermunculan, termasuk dikatakan bahwa bahwa kehidupan Kim Yo-jong, saudara perempuan penguasa, mungkin terancam setelah dia menghilang dari pandangan publik pada akhir Juli.
Sebelumnya, Kim Yo-jong membuat sejumlah pernyataan agresif atas nama bangsa, termasuk mencap 'sampah manusia' dan 'anjing botak' Korea Selatan .
Serangkaian peristiwa itu ditafsirkan sebagai tanda bahwa dia adalah orang kedua di Korea Utara, yang tengah disiapkan menggantikan Kim Jong-un.
Kini, saat Kim Yo-jong diduga menghilang, hal itu dikaitkan dengan penampilannya yang 'berlebihan'.
Sementara di masa lalu, setiap tanda pembangkangan berakhir dengan eksekusi, tanpa terkecuali termasuk keluarga Kim Jong-un sendiri.
Setidaknya 10 pejabat diyakini telah dibersihkan atas perintah Kim Jong-un, termasuk pamannya Jang Song-thaek, dikutip dari Ekspress.co.uk.
Jenis kebrutalan ini jauh dari 'tidak biasa' di Korea Utara dan di masa lalu telah dimanfaatkan oleh publik untuk serangkaian pelanggaran.
Pembelot Jang Jin-sung merinci beberapa tindakan biadab yang dilakukan terhadap warga dalam memoarnya tahun 2014 'Dear Leader', terutama eksekusi seorang pria yang mati kelaparan.
Jang Jin-sung bekerja untuk departemen propaganda pemerintah, di mana dia menulis puisi untuk mendukung rezim dan penguasa Kim Jong-il, sampai dia melarikan diri pada tahun 2004 karena dia mengkhawatirkan nyawanya.
Penulis mengungkapkan perbedaan mengejutkan antara Pyonygang, ibu kota negara, dan daerah di luar, di mana kelaparan meningkat.
Dia teringat percakapan memilukan dengan teman masa kecilnya Young-Nam setelah dia kembali ke kota asalnya Sariwon.
Pyongyang dikenal sebagai 'kota poster' bangsa, yang digunakan untuk memamerkan keberhasilan rezim kepada pengunjung dan pejabat asing.
Ini adalah satu-satunya lokasi yang diizinkan untuk dikunjungi orang luar, dan diyakini bahwa kelaparan melanda daerah di luar ibu kota.
Teman Jin-sung mengatakan kepadanya: “Berebut untuk makan berikutnya adalah yang terbaik yang bisa saya lakukan.
"Bahkan jika saya membuatnya hari ini, ada makanan berikutnya yang perlu dikhawatirkan. Dan selanjutnya.
“Semua jam bangun saya dihabiskan dengan ketakutan apakah saya akan bisa makan lagi. Kami hidup tidak lebih baik dari hewan."
Selain itu, alih-alih tanda yang menunjukkan harga barang di pasar kota, justru sejumlah slogan 'ancaman' yang mengerikan yang tertulis dengan huruf berwarna hitam.
Mereka membaca: “Matilah dengan regu tembak bagi mereka yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas! Kematian oleh regu tembak bagi mereka yang menimbun makanan! Kematian oleh regu tembak bagi mereka yang bergosip!,".
Ya, regu tembak siap mengeksekusi siapa saja yang 'berulah' dalam pemerintahan Kim Jong-un.
Kejahatan lain yang dapat dihukum dengan metode brutal ini termasuk menimbun sumber daya negara, menyebarkan budaya asing, memutus jalur komunikasi militer, dan membuang-buang listrik.
Jin-sung berkomentar: "Slogan tersebut menyiratkan bahwa setiap dan setiap kesalahan akan menyebabkan kematian oleh regu tembak."
Kemudian dia menyaksikan salah satu eksekusi publik secara langsung setelah suara sirene berbunyi di udara, sebuah peristiwa yang akan menyebabkan penutupan pasar sampai pembunuhan terjadi.
“Di Korea Utara, eksekusi di depan umum tidak dianggap sebagai hukuman. Ini dikategorikan sebagai metode pendidikan moral, dan juga sebagai alat propaganda publik yang digunakan dalam perebutan kekuasaan," ungkapnya.
“Eksekusi ini terjadi hampir setiap minggu. Itu selalu terjadi di alun-alun pasar sehingga banyak penonton dapat menonton prosesnya," sambungnya.
Baca Juga: Sejarah Timor Leste, dari Tangan ke Tangan Penjajah Menuju Kemerdekaan
Baginya, peristiwa semacam itu seperti pesan yang sengaja dikirim kepada warga Korea Utara, bahwa siapa pun dari mereka bisa berada di posisinya, bahwa tidak perlu penjahat khusus untuk mengalami nasib tersebut.
Bahkan, salah satu yang mengerikan yaitu ketika seseorang 'hanya' melakukan pencurian satu karung beras, yang menurut undang-undang pada saat itu adalah milik militer negara. Atas kejahatan itu, seorang pria ditembak mati.
“Kejutan yang saya rasakan setelah mengetahui cerita itu sulit untuk dijelaskan… rambut saya berdiri tegak dan rasa dingin yang menggelitik mencapai dari sana sampai ujung jari kaki saya.
“Orang yang ditembaki dengan peluru karena mencuri beras adalah seorang petani yang kelaparan. Bahkan seseorang yang bekerja untuk tanah tidak dapat menemukan cukup makanan," ungkap Jin-sung dalam tulisannya.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini